Jumat, 30 Mei 2014

New Life in Japan Part Zero: The Prequel 2


The Second Affair



Aku harusnya bisa menduga, dengan suasana kerja Paulin yang seperti itu, besar sekali peluang untuk terjadi lagi perselingkuhan. Dan kenyataannya itulah yang terjadi. Tiap hari sejak hari itu Paulin pulang kantor lebih lambat dari biasanya. Namun karena tak pernah terlalu larut aku pun tak keberatan. Saat aku bekerja dulu, jika harus lembur tidak jarang sampai dini hari baru bisa pulang. Jadi kupikir itu hal biasa. Paulin mengatakan bahwa kantornya sedang ada proyek dari Jepang. Aku percaya, karna kadang dia juga membawa berkas-berkas pekerjaannya pulang. Terkadang aku juga diajak berdiskusi dan brainstorming terkait dengan pekerjaannya itu. Lagipula Paulin selalu pulang dengan menumpang mobil Yenni. Aku pun jadi tak terlalu khawatir. Seminggu kemudian sekitar jam 3 sore aku menelpon kantornya karna HPnya tak aktif saat kuhubungi. Saat itu aku hendak pergi dan mungkin tak ada di rumah saat istriku pulang. Kunci rumah akan kutitipkan pada tetangga sebelah. Sebenarnya hal ini sudah biasa, tapi aku tetap merasa perlu memberitahu Paulin. Teleponku diangkat. Yang menjawab suara pria. Entah siapa dia, aku memang tak mengenal seorang pun teman pria Paulin. Pria itu mengatakan bawa istriku sedang tak ada di tempat. Aku pun meminta bicara dengan Yenni karena biasanya dia yang mengantar istriku pulang.

“Halo Wan…?” Terdengar suara renyah Yenni dari seberang.

“Halo Yen, kamu tahu Lina kemana? HPnya nggak aktif waktu kutelpon…” Aku langsung to the point menanyakan Paulin. Yenni tertawa kecil dan menjawab, “Ooh Paulin sejak istirahat siang tadi keluar bareng Yoshi, ga tau deh kemana?”

“Bareng Yoshi? Sejak istirahat siang tadi sampe sekarang juga belum kembali?” Tanyaku gusar.

“Iya…” Jawab Yenni masih tertawa, “dasar Yoshi, mentang-mentang bos seenaknya aja pergi padahal banyak kerjaan numpuk nih di sini…” Lanjutnya santai. Aku tak tahu harus berkata apa, pikiran yang buruk langsung memenuhi kepalaku. Karna agak lama aku terdiam, Yenni tampaknya tahu kegelisahanku, tapi bukannya menenangkan dia malah menggodaku. “Ati-ati loh Wan punya istri secantik Paulin kudu dijaga bener-bener tuh… Apalagi dari buaya macam Yoshi! Hi hi hi…” Ujarnya terkekeh.

Kesal sekali rasanya mendengar itu. Aku tak mau menanggapinya. “Ya sudah nanti kalo Paulin sudah nyampe di kantor, please, suruh dia langsung menghubungiku ya?” Pintaku.

“Siap bos!” Jawab Yenni kocak.

Kututup telponku, tak jadi kutitipkan pesan pada Yenni. Bahkan akhirnya kuurungkan juga niatku untuk pergi. Sore itu aku gelisah menunggu telepon atau balasan sms dari istriku. Setelah 2 jam menunggu tanpa hasil, jam 5 sore kutelpon lagi kantornya. Jam segini biasanya jam kantor berakhir. Semoga masih ada orang di sana yang bisa menjawab teleponku.

“Halo… Sore…?” Suara wanita menjawab teleponku dan itu suara Paulin! Betapa lega ketika kudengar suara istriku sendiri yang menjawab langsung.

“Lin? Ini aku…” Sahutku.

“Ooh… Mas Wawan, ada apa mas…?” Jawab Paulin. Suaranya terdengar agak grogi.

“Kamu kutelpon dan ku-SMS sejak tadi… HPmu gak aktif?” Cecarku.

“Duh sori mas, HPku kutinggal di kantor, sejak tadi aku keluar sama Yoshi… Ini baru balik. Ada apa?” Jawab Paulin.

“Yenni ga bilang apa-apa ke kamu?” Tanyaku.

“Yenni? Aku nggak ketemu lagi sama dia, ini kita balik kantor udah sepi. Di sini tinggal Yoshi sama aku aja.” Jawabnya. Cemburu sekali rasanya mendengar dia tinggal berduaan saja dengan Yoshi setelah tadi sepanjang siang juga pergi berduaan. Aku enggan menanyakan kemana dia pergi tadi karna diam-diam aku malah takut sendiri mendengar jawabannya. “Ya sudah, kamu segera pulang kan? Ga ada lembur kan, katanya yang lain udah pada pulang?” Tanyaku lagi.

“Emmh, iya mas, semua memang udah pulang... Tapi…” Jawaban Paulin terputus.

“Kenapa? Masa kamu mau lembur sendirian?” Sergahku.

“Bukan itu mas, sudah ga ada lembur kok…” Jawabnya. “Cuman ini Yoshi kayaknya masih nahan aku…” Lanjutnya terdengar agak ragu saat memberitahuku. “Paling cepet jam 7 aku nyampe rumah mas… gapapa kan? Apa penting banget?”

“Bukan penting sih, tapi… Sayang, kamu ngapain sama bosmu lagi itu…?” Tanyaku gusar.

Paulin terdiam beberapa saat. “Mas, aku tutup dulu ya…?” jawabnya. Oh tidak. Dia mengelak menjawab pertanyaanku. “Maaf, ga enak, nanti aku ada berita besar untukmu mas, tungguin aku di rumah ya honey? Aku tutup dulu…” Ucap Paulin.

“Y…Ya… kutunggu nanti…” Jawabku pelan.

Aku harusnya mendampratnya dan menyuruhnya segera pulang. Tapi aku seperti tak punya daya untuk itu. Paulin menutup telpon. Pikiranku makin tidak karuan. Tapi kucoba untuk menenangkan diri dan berpikir positif. Aku bertanya-tanya mengenai berita besar yang tadi disinggung Paulin. Berita apa gerangan? Menunggu 2 jam lagi hingga jam 7 terasa begitu lama. Apalagi setelah lewat jam 7 Paulin belum juga pulang sebagaimana dijanjikannya. Aku makin gelisah dan tidak mood untuk melakukan apapun sampai Paulin pulang. Yang kulakukan hanya menunggu. Kusetel televisi tapi tak ada satupun acara yang menarik perhatianku. Kubuka-buka koran atau majalah, sama saja, pikiranku tidak dapat teralihkan. Akhirnya aku berbaring di ranjang hingga tanpa sadar aku ketiduran. Aku terbangun saat kurasakan belaian di pipiku. Saat kubuka mataku wajah cantik Paulin langsung menghiasi pandanganku. Ah… Istriku. Betapa leganya.

“Mas… maaf, nunggu lama ya?” Bisiknya pelan. Aku mengangguk. Kutengok jam dinding.

“Baru jam 9 kurang mas…” Tanpa kutanya Paulin menjawab seperti bisa membaca pikiranku. Kucium wangi sabun yang khas. Rupanya Paulin sempat mandi sebelum membangunkanku. Aku hendak bangkit tapi Paulin menahanku dan justru dia yang rebah di sampingku. “Gak usah bangun mas…” Ucapnya.

“Mas… ada berita besar yang harus kusampaikan.” Gumamnya sambil mengelus-elus dadaku.

“Ini berita gembira mas… Yoshi ingin aku pergi ke Jepang untuk ikut mengurus perusahaannya di sana...” Lanjutnya. Aku tersentak, kutengok wajahnya namun tak sepatah katapun kuucapkan. Paulin menyadari kekagetanku. Sambil tersenyum dia melanjutkan. “Surprise banget kan mas? Gimana menurutmu mas? Ini kesempatan besar bagiku dan jelas gajinya akan jauh lebih besar…” Ucapnya berbinar. “Kamu pernah bilang kan kalau kamu pingin sekali pergi keluar negeri…? Ketika kutanya, kamu bilang pertama pingin ke Amerika dan kedua kamu pingin banget ke Jepang. Masih ingat?” Tanyanya.

Ya aku memang ingat pernah berandai-andai seperti itu. Aku manggut-manggut saja dan masih belum tahu juga harus berkata apa.

“Well, sekarang semua bukan mimpi lagi mas… Yah, tapi harus dibalik… Pertama kita ke Jepang dulu, habis itu pasti nanti kita pasti bisa mengumpulkan uang untuk berlibur ke Amerika atau bahkan Negara-negara lainnya mas…” Ucap Paulin bersemangat.

“Tunggu dulu…” Akhirnya aku bersuara. “Kamu akan kerja apa di sana? Bareng Yoshi juga atau kamu sendiri, trus berangkatnya kapan, berapa lama, dan…” Aku memberondongnya dengan pertanyaan, tapi istriku segera memotong,

“Kerjaanku masih dalam lingkup kerjaan yang sama kayak sekarang mas. Advertising, periklanan, gitu deh… Yoshi ya tetap di Indonesia di kantor sini… Tapi sekali sebulan dia akan menengokku di sana. Di sana itu perusahaan keluarganya dia, tapi yang detilnya aku juga masih belum tahu banyak. Yang jelas Yoshi sudah mempersiapkan segala sesuatunya untukku di sana, dan minimal aku akan bekerja di sana sekitar 6 bulan…” Jelas Paulin panjang lebar.

“Itu perintah atau tawaran, sayang?” Tanyaku.

Paulin tertawa. “Ya itu tawaran mas… Kenapa? Apa kamu berpikir untuk menolak? Tapi tentu saja aku langsung menerimanya, kupikir kamu juga pasti setuju dan senang kan?” Jawabnya.

“Yah, entahlah… kurasa begitu…” Jawabku ragu. Kubelai rambutnya dengan lembut. Aku merasa harus mendukungnya, tapi kuberanikan diri untuk menanyakan tentang Yoshi.

“Sayang…?” Agak ragu aku melanjutkan.

“Ya…?” Sahut Paulin.

“Lalu apa yang terjadi antara kamu dan Yoshi tadi…?” Tanyaku pelan.

Untuk sesaat tampak keraguan dalam diri Paulin. “Mmmm… Sayang… Aku tak akan bohong padamu, kuharap kamu tak marah…” Jawab Paulin. Wajahnya tersipu. Oh tidak, tampaknya jawaban yang kutakuti memang harus kuterima.

“Apa… Apa dia merayumu lagi sayang?” Tanyaku gusar.

Paulin makin tersipu. “Well, sejak kejadian itu tidak ada hentinya dia merayu dan mengajakku lagi…” Jawabnya.

“Awalnya aku berusaha tegas dengan mengatakan sekali saja cukup. Aku bahkan sudah menjelaskan bahwa kamu udah tahu tentang kejadian itu. Dengan begitu kuharap dia berhenti merayuku…” Paulin berhenti sebentar dan menghela napas.

“Dan…?” Desakku.

“Tapi dia malah bertanya apakah kamu marah dan dendam… Kujawab tidak, aku bilang padanya bahwa kamu memaafkanku tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi… Kupikir Yoshi akan segan dengan begitu dan tidak mengejar-ngejarku lagi. Tapi ternyata justru itu membuat dia makin liar. Dasar mesum, aku sudah kewalahan sekali menghadapinya… Dia pikir karna kamu tidak marah maka tidak ada masalah lagi bila kita mengulanginya. Aku jadi kehilangan alasan untuk menghindarinya lagi… Siang tadi adalah puncaknya. Yoshi mengajakku makan siang berdua di hotel dalam rangka memberitahukan tentang berita gembira itu.” Lanjut Paulin.

“Tentang Jepang itu?” Tanyaku.

“Iya…” Jawabnya. “Aku begitu senang mendengarnya, rasanya itu hadiah yang sangat besar buatku. Aku juga tak sabar untuk segera memberitahumu, tapi HPku tertinggal di kantor…” Lanjutnya.

“Kupikir sebagai tanda terima kasih aku akan memberinya kecupan sekedarnya saja, tapi dia malah memelukku dan balas mencium bibirku. Aku jelas tak bisa mengelak, apalagi di tempat umum begitu, entah bagaimana jadinya kalau aku berontak dan orang-orang akan melihat kita dan bertanya-tanya. Kita akan jadi pusat perhatian. Betapa malunya… Salah-salah akan terjadi salah paham. Aku khawatir Yoshi akan marah dan semuanya akan jadi berantakan. Aku pun berusaha bersikap wajar dan kubiarkan Yoshi mencium bibirku untuk beberapa saat. Tapi tiba-tiba Yoshi bangkit dan menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikutinya dan ternyata dia menuju 1 kamar. Tahu-tahu dia sudah memegang kunci kamar tersebut, agaknya dia sudah memesan kamar itu sebelum mengajakku kesana. Sayang… Aku tidak bisa menghindar lagi saat itu. Kuharap kamu tidak marah…” Akunya panjang lebar.

Aku bingung bagaimana harus merespon, darahku sudah naik ke ubun-ubun, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.

“Ka… Kamu sudah tidur dengannya lagi…?” Betapa tololnya aku menanyakan sesuatu yang sudah jelas.

Paulin menghela napas. “Yoshi memang paling pintar kalo bikin rencana mesum begitu…” Keluhnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, menghindar jelas sudah tidak mungkin. Akhirnya aku mencoba berpikir positif saja. Dia sudah pernah sekali menyetubuhiku, dan kamu tidak mempermasalahkannya, jadi kupikir tidak ada salahnya bila aku melayaninya sekali lagi… Lagipula… Yah, dia sudah berbaik hati memberiku kepercayaan dan kesempatan yang besar. Sejujurnya hatiku memang sedang meluap bahagia karnanya saat itu…” Ringan sekali mulutnya mengucap pengakuan itu.

Berbeda dengan yang pertama, kini sama sekali tidak kulihat tanda-tanda penyesalan dalam dirinya. Aku sudah enggan mengomentarinya lagi. Aku juga tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kualihkan pandangan ke langit-langit kamar dan menerawang nanar. Kurasa Paulin menyadari kekecewaan dan kesedihanku. Dia memelukku dan merebahkan kepalanya di dadaku.

“Sayang… Aku sungguh minta maaf hal ini harus terjadi lagi… Tapi Yoshi hanyalah seorang mata keranjang yang gila seks. Dia sama sekali tidak berusaha merebutku dari tanganmu. Kurasa pernikahan bukanlah ide yang baik bagi orang-orang macam dia. Kurasa kamu tak perlu khawatir… Dia hanya ingin bersenang-senang denganku. Itu saja…”

Aku tetap diam. Kutelan mentah-mentah kata-kata istriku yang tidak masuk akal itu.

“Dan kupikir tidak ada gunanya aku menghindar. Aku tidak ingin seperti pelacur. Jangan membayangkan ini seperti aku menjual tubuhku demi kenaikan karir itu… Tidak sama sekali sayang… Satu-satunya jalan buatku adalah dengan mencoba menikmatinya juga. Dan, well… Hal itu tidaklah sulit...”

Kini aku benar-benar terusik.

“Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu tidak sulit?” Tanyaku gusar.

“Well… Kamu tahu, Yoshi memang pandai dalam urusan itu. Dari caranya merayu, melambungkan perasaan wanita, hingga caranya bercinta… Sungguh menakjubkan. Kupikir aku juga sedikit bersenang-senang hari ini sayang…” Jawab Paulin polos.

Detik itu juga harusnya aku benar-benar meledak, tapi yang terjadi justru anti klimaks. Darahku yang sudah memuncak di ubun-ubun kini mengalir turun kembali. Tubuhku lemas tanpa daya, otakku tak dapat berpikir jernih. Kupikir malam ini akan kudengarkan cerita istriku sampai tuntas dan menelannya mentah-mentah.

“Sayang, kamu tentu tidak mengharapkan aku pulang sambil menangis dan membawa kabar buruk bahwa istrimu ini telah diperkosa bukan?” Lanjut Paulin. Dalam hati aku protes. Kupikir kalaupun Paulin menolak, Yoshi tidak akan sampai nekat memperkosanya. Tapi, yah aku tidak sampai mengucapnya. Semua itu kusimpan dalam hati saja.

“Harus kuakui, aku juga sedikit terbawa suasana. Kami bercinta sekali saja tapi tidak tergesa-gesa. Yoshi juga tidak ambil pusing untuk cepat-cepat kembali ke kantor. Sepertinya dia ingin menikmati waktunya bersamaku tanpa gangguan apapun. Setelah bercinta dia juga dengan santainya tidur siang dengan pulas. Aku sebenarnya tidak enak dengan teman-teman di kantor karna… yah, kamu tahu, kerjaan sedang banyak-banyaknya saat ini.” Paulin menghela napas sebentar dan melanjutkan. “Tau-tau hari sudah sore dan ketika kami kembali ke kantor, semua sudah pulang termasuk Yenni. Kupikir tak apa, toh aku biasa naik taksi sendiri. Tapi Yoshi ingin bersamaku sedikit lebih lama lagi dan dia berjanji akan mengantarku pulang… Saat itulah kamu telpon…”

“Ya, dan kamu menutup begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Tahukah kamu gimana gelisahnya aku nungguin kamu pulang?” Timpalku mencoba menunjukkan sedikit rasa keberatan.

“Aku benar-benar minta maaf soal itu sayang… Tapi bagaimana lagi, aku tidak mungkin menceritakannya di telpon juga kan?” Jawab Paulin.

“Aku benar-benar cemburu, orangnya seperti apa sih Yoshi ini?” Tanyaku ketus.

Istriku tertawa. “Kalau kamu ketemu orangnya kamu bakal tahu kalau kamu tidak perlu cemburu padanya sayang…” Jawab istriku. “Kamu tahu nggak, justru Yoshi itu yang cemburu berat sama kamu. Dan bukan hanya Yoshi, semua teman-teman priaku juga begitu. Mereka penasaran siapa dan kayak apa kamu yang berhasil memiliki aku! Betapapun Yoshi sudah mencicipi tubuhku, tapi itu ibarat seujung kotoran di kuku saja dibanding dengan apa yang kamu miliki. Kamu itu memiliki aku sepenuhnya sayang… Jiwa dan raga...!” Ujarnya tegas.

Aku tak tahu apakah seharusnya aku tidak termakan rayuan itu, tapi aku merasakan ketulusan di dalam ucapannya itu. Dan perasaanku pun melambung.

“Kamu tahu sayang… Seperti kamu punya harta milyaran dan kamu memberi sedekah 100 rupiah pada pengemis di pinggir jalan.” Celetuk istriku lagi. Aku tersenyum kecut mendengarnya, dan istriku juga ikut tertawa kecil.

“Udah ah ngaco aja analogi kamu tuh…!” Sahutku ketus.

“Kamu tahu, aku benar-benar tegas menolak Yoshi sore itu dan minta segera diantar pulang. Tapi Yoshi berkata bahwa dia tak akan membawaku ke hotel lagi. Dia ingin bercinta di situ juga, di dalam ruang kantor kami yang sudah sepi. Bahkan di lorong gedung atau di dalam lift. Aku benar-benar kaget dengan ide gilanya itu. Dia mengutarakan semua itu dengan gamblang dan vulgar. Tapi… Aku jadi kepikiran dan mempertimbangkannya juga. Kamu tahu, itu benar-benar ide gila dan kupikir aku ingin mencobanya juga. Hanya untuk merasakan sensasinya saja sayang…” Paulin terus melanjutkan ceritanya. Dan sialnya aku mulai terbawa lagi ke dalam ceritanya. Ya, penisku mulai berdenyut dan menggeliat. Ah persetan, pikirku.

“Lalu apakah kalian benar-benar melakukannya?” Tanyaku penasaran.

“Yah tentu saja sayang, dan tahu nggak? Itu memang benar-benar ide bagus!” Sahut istriku bersemangat. “Maksudku…Yah kupikir kita perlu juga sekali-kali mencobanya…” Ujarnya serius. Sableng. Aku benar-benar jadi tidak mengerti jalan pikirannya.

“Awalnya kami bercinta di dalam kantor. Gila. Kami bercinta di atas meja kantor dan berpindah-pindah dari satu meja ke meja lainnya. Membayangkan besok teman-temanku akan bekerja di mejanya masing-masing tanpa mengetahui bahwa kemarinnya kami telah bercinta dengan hebat di atas mejanya itu saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Apalagi ketika Yoshi nekat menarikku keluar kantor dan menyetubuhiku di lorong gedung. Aku benar-benar takut dan menolak pada awalnya… Tapi makin besar kekhawatiranku, makin besar pula sensasi yang kurasakan. Yoshi meyakinkanku bahwa seisi gedung sudah pulang semua. Memang biasanya kantor kami yang paling terakhir tutup kalau hari sabtu begini. Dan seisi gedung memang benar-benar sepi. Paling-paling cuma ada satpam di lantai bawah saja, dan mereka jarang sekali berkeliling.” Aku mendengarkan Paulin yang terus bercerita dengan santai. Aku tak pernah datang ke kantor Paulin, jadi aku tak tahu bagaimana gambaran interior kantornya atau bagaimana suasana gedungnya secara keseluruhan. Tapi yang kutahu gedungnya memang tidak terlalu besar. Hanya 3 lantai dan tidak lebih dari 10 kantor yang ada di sana. Ah… Sungguh ganjil suasana ini. Seorang istri menceritakan kejadian detil perselingkuhannya kepada suaminya sendiri. Si istri bercerita dengan semangat dan si suami menjadi pendengar yang baik. Itulah keadaan kami sekarang, and I don’t really give a damn no more… sigh.

“Sayang, kamu pasti tak percaya dengan apa yang kami lakukan selanjutnya… Yoshi mengajakku turun ke lantai 1 dan tidak mengijinkanku untuk berpakaian sama sekali!” Ucap Paulin bersemangat.

Oh, sulit sekali memang bagiku untuk mempercayainya. “Tidak masuk akal, aku tidak bisa membayangkan kalian berdua telanjang berkeliaran di dalam gedung…” Protesku.

Paulin terkekeh. “Kamu tahu sayang, Yoshi tidak pernah telanjang bulat saat bercinta… Dia selalu menyisakan kaos dan celana kolornya untuk tetap dipakai. Betapapun hebatnya kami bercinta, sampai keringatnya banjir juga tidak mau buka baju dia. Tampaknya dia tidak pede dengan tubuhnya yang gendut itu.” Jelasnya sambil terkekeh. “Itulah yang membuatku cukup kesal pada awalnya, kalau kita sampai kepergok satpam tentu aku yang paling malu. Dia sih enak pakai baju. Tapi itulah Yoshi, kalau sudah bercinta, apa yang dimaunya tak bisa dibantah. Aku pasrah saja dia menggelandang aku telanjang bulat di lorong gedung. Di lift kami bercinta sambil berdiri. Perasaanku tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata mas…” Lanjutnya dengan mata berbinar. “Di lantai 1 pak Joko dan pak Gito asik menonton TV di meja resepsionis. Mereka berdua satpam di gedungku mas. Kamu tahu, begitu lift terbuka, kita langsung bisa melihat ke arah meja resepsionis, dan kalau saja mereka menengok ke arah lift tentu mereka juga akan langsung melihat kami. Untunglah perhatian mereka mengarah pada TV itu… Itu benar-benar gila sayang… Kamu pasti susah mempercayainya tapi itulah yang terjadi dan aku cukup terbawa suasana itu. Kamu tahu, saat itu aku mengalami orgasme hebat. Sumpah! Aku sendiri tidak tahu ternyata aku bisa begitu terangsang dengan itu. Aku tidak pernah kepikiran, dan kalau bukan karna Yoshi tentu aku tidak akan pernah mencoba dan merasakan sensasi itu.” Suara Paulin memelan. Dia menghela napas dan melirikku dengan tatapan sayu. Oh tidak, kuharap dia tidak menyadari bahwa aku juga sedang terangsang dengan mendengarkan ceritanya itu.

“Sayang, bukannya aku mengatakan hubungan seks kita mengecewakan… Tidak sama sekali. Percayalah…” Ucapnya. Ah, tampaknya dia khawatir aku tersinggung. “Selama ini kamu sangat hebat dan bisa memuaskanku. Aku tak pernah mengeluh. Kamu tahu aku jujur kan?” Tanyanya. Aku mengangguk pelan. “Yaah… Aku juga tidak mau membayangkan kamu berselingkuh dengan Yoshi gara-gara aku tidak bisa memuaskanmu…” Ucapku datar.

“Tidak sama sekali sayang. Percayalah!” Sahut Paulin cepat.

“Well… Kuharap begitu…” Aku menjawab lirih.

“Aku hanya menyadari bahwa ada variasi permainan cinta yang bisa membawa kita pada level kepuasan yang lebih tinggi. Itu yang kualami tadi, dan… dan aku benar-benar berharap suatu saat kita bisa mencobanya…” Paulin tampaknya serius mengucap itu. Dan aku makin terangsang juga membayangkannya. Entah aku berani mencobanya atau tidak. Jelas aku tidak segila atau se’kreatif’ Yoshi. Kutarik napas panjang dan menghelanya. “Lalu apa yang terjadi kemudian?” Tanyaku penasaran.

“Yoshi mendatangi pak Joko dan pak Gito. Aku sendiri disuruhnya bersembunyi di balik dinding. Aku tak tahu apa yang disampaikan Yoshi, yang jelas dia berusaha menyuruh para satpam itu pergi. Kurasa Yoshi memberikan sejumlah uang pada mereka untuk beli rokok atau apa…” Tutur Paulin melanjutkan ceritanya.

You know what? Gilanya, aku sempat membayangkan Yoshi mengajak kedua satpam itu bergabung dengannya menyetubuhi Paulin. Entah dengan bayangan itu aku khawatir atau justru berharap. Oh tidak! Kupikir aku sedikit mengharapkannya. What the fuck…?! Apa yang terjadi pada diriku? Ini benar-benar tidak normal.

“Kamu tahu, aku dapat menangkap keheranan pak Joko dan pak Gito ketika melihat Yoshi muncul hanya mengenakan kaos dan celana kolor dengan tubuh penuh keringat. Kuharap Yoshi berbohong dengan mengatakan bahwa dia sedang berolah raga, tapi kalau begitu apa kepentingan Yoshi dengan menyuruh para satpam itu pergi…? Perasaanku berkecamuk saat itu. Kupikir… Yah, kemungkinan besar pak Joko dan pak Gito tahu apa yang terjadi. Aku jadi kepikiran bahwa ini bukan pertama kalinya bagi Yoshi… Dan kedua satpam itu seperti sudah hafal dengan itu. Yah… Kupikir begitu… Dasar Yoshi…!” Tampak gemas Paulin mengucap itu. “Setelah mereka pergi Yoshi memanggilku. Aku tak pernah membayangkan berjalan-jalan telanjang di dalam gedung, dan di lantai 1 itu aku benar-benar merasakan sensasinya. Kamu tahu, seperti kebanyakan gedung, pintu gedungku juga terbuat dari kaca sehingga orang dari luar bisa melihat ke dalam. Itu sungguh luar biasa, jantungku berdebar hebat saat itu membayangkan betapa tiap harinya ramai orang lalu lalang di situ. Dan bukan hanya berjalan-jalan telanjang, Yoshi langsung mencumbuku lagi dan kami mulai bercinta di atas meja resepsionis. Ya, di atas meja bukan di baliknya! Yoshi merebahkan aku di situ dan menyetubuhiku sambil berdiri.”

Sial. Penisku kini benar-benar tegang. Aku tak tahan lagi, segera kukeluarkan dari balik celana supaya lega. Paulin tersenyum tapi tidak berkomentar apa-apa. Dengan tanggap, tangan kanannya meraih penisku dan mengelusnya lembut.

“Itu hal tergila yang pernah aku lakukan sayang. Dan aku benar-benar khawatir seseorang akan lewat dan melihat apa yang sedang kami lakukan di dalam gedung itu. Yah walaupun peluangnya kecil… Aku meminta berganti posisi doggy supaya aku bisa melihat ke arah pintu. Kamu tahu? Yoshi tidak terlalu suka posisi doggy itu. Beda banget sama kamu…” Ujar Paulin terkekeh.

Gerakan belaian tangannya di penisku kini berubah menjadi kocokan pelan. Wajahku memerah, yah, doggy style itu adalah posisi favoritku saat bercinta. Dan oh, betapa sekarang aku menginginkannya. Tapi kurasa akan kudengarkan dulu cerita istriku sampai tuntas.

“Walau keberatan Yoshi mengabulkannya. Awalnya aku turun dan berdiri menungging sambil memegang meja. Dengan begitu aku bisa mengawasi pintu. Kami bersetubuh beberapa saat dengan posisi itu. Dan kemudian aku mempunyai ide yang cukup gila… Aku merangkak ke atas meja sehingga posisiku kembali sepenuhnya di atas meja. Seluruh tubuhku jadi terekspos semuanya tanpa ada yang tersembunyi di balik meja. Itu kalau aku membayangkan ada orang yang menonton kami dari luar. Hi hi hi… Tapi tentu saja aku tak mau hal itu terjadi, itu hanya khayalanku saja… Tapi hanya dengan membayangkan saja ada sensasi kenikmatan tersendiri yang kurasakan.”

“Kami selesai sebelum gelap. Yah, sebenarnya sudah cukup gelap dan aku benar-benar khawatir pak Joko dan pak Gito akan kembali untuk menyalakan lampu….” Paulin menghela napas. “Sayang… Semoga kamu tidak marah kalau kuakui dengan jujur bahwa aku sungguh menikmatinya. Itu adalah hal baru dalam hidupku, dan… kurasa… Yah, aku berterimakasih pada Yoshi yang membuatku mengalaminya…” Paulin seperti gemas membayangkan apa yang dialaminya tadi sebagaimana dia menceritakannya. Aku dapat merasakan dari kocokannya di penisku yang kini semakin kencang. Kurasa aku akan keluar tapi tidak kuhentikan gerakan Paulin. Kubiarkan saja dia terus melakukannya. Yah, rasanya aku akan membiarkan diriku mengalami orgasme hanya dengan servis tangan Paulin. Kutarik tubuh Paulin makin erat ke dalam pelukanku. Paulin nampaknya mengerti, dia pun mempercepat kocokannya hingga, “Craatz…!” Spermaku menyembur keluar tanpa ampun. Oohhh… Aku melenguh pelan, tak peduli spermaku akan mengotori sprei ataupun celanaku. Kubiarkan orgasmeku membuncah hingga tuntas. “Ahhhhh….” Desahku lirih merasa lega.

Paulin tersenyum dan menciumi pipiku. “Terima kasih sayang…” Bisiknya.

Diambilnya tisu dan mulai membersihkan spermaku. Aku diam saja tak bergeming. Kubiarkan Paulin membersihkan penisku dan melucuti celanaku yang paling banyak terkena lelehan sperma. Dia melakukannya tanpa sungkan, kurasakan ketulusan seorang istri yang melayani suaminya.

“Lin…” Aku menggumamkan namanya tanpa ada apapun yang hendak kusampaikan.

Paulin tersenyum melirikku tanpa menjawab. Sejenak dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya dan melempar celana kotorku ke dalam ember cucian. Saat kembali dia membawakan celana ganti dan memakaikannya untukku. Hal ini sudah sangat biasa. Beginilah gambaran istriku yang senantiasa melayaniku dengan sepenuh hati. Walau dia bekerja, tak pernah dia mengeluh untuk melayaniku juga sebagai suaminya di rumah. Aku jadi gemas dan segera kutarik dia kembali ke dalam pelukanku. Kuciumi pipi lembutnya dengan gemas. Paulin melenguh manja dan itu membuatku semakin gemas terhadapnya.

“Kamu nakal Lin…” Bisikku. Paulin tersipu tak menjawab. Kubelai-belai pipinya dengan lembut. Kedua mata kami bertatapan sayu. “Biarlah Yoshi memetik sedikit kenikmatan darimu, tapi kamu tetap milikku seutuhnya…” Ucapku tegas.

Paulin tersenyum. “Tentu mas… Aku milikmu seutuhnya. Aku senang kamu tidak membiarkan kenakalan Yoshi merusak kebahagiaan kita…” Jawabnya.

Untuk sesaat aku dan Paulin berbaring tanpa mengucap sepatah kata pun. Kepala Paulin direbahkan di atas pundak kananku. Kubelai-belai rambutnya dengan lembut dengan tangan kananku yang mendekapnya. Mata kami juga tidak terpejam. Kami seakan asyik dengan pikiran masing-masing, dan aku cukup menikmati suasana hening itu.

“So… Jepang…?” Gumamku memecah kebisuan.

Paulin menatapku dan tersenyum. “Everything is gonna be great, honey…” Ucapnya.

“Kamu tahu aku akan selalu mendukungmu sayang… Jadi, kapan kita berangkat?” Tanyaku.

“Tidak terlalu terburu-buru kok. Kapan kita siap aja, kita harus pamitan dulu dengan orang tua dan saudara…” Jawab Paulin. “Tapi sebenarnya Yoshi sih berharap aku sudah siap dalam bulan ini…” Lanjutnya.

Aku termenung membayangkan dalam sebulan ini kami harus pindah ke Jepang. Entah apa yang bisa kulakukan di sana nantinya. Apakah peran ‘bapak rumah tangga’ akan terus kujalani? Aku tahu Paulin tidak ingin pikiran-pikiran seperti ini terus merisaukan diriku. Tapi sebagai laki-laki naluriku tak bisa menolak untuk terus memikirkannya.

***********************

Begitulah cerita yang mengawali kisah kami yang kini sudah berada di Tokyo. Paulin sudah tertidur pulas dalam pelukanku, sementara mataku masih saja belum bisa tertutup. Entah jam berapa sekarang. Suasana rumah besar ini sangat sepi. Tapi bukannya membuatku mengantuk melainkan malah membuat pikiranku makin menerawang. Yah, lagipula ceritanya memang masih belum selesai. Yang disinggung-singgung Paulin tadi adalah masalah ‘pesta itu’. Lamunanku tadi memang lebih mundur ke belakang. Aku menghela napas panjang. Perasaan aneh berdesir di dalam dadaku. Entah perasaan apa itu. Campur aduk yang kurasakan. Memang, perselingkuhan istriku dengan Yoshi tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang terjadi dalam ‘pesta itu’. Pesta perpisahan istriku dan teman-teman sekantornya, termasuk Yoshi. Ah, pikiranku pun kembali menerawang mengingat-ingat pesta itu. Kembali ke malam di hari perselingkuhan kedua Paulin. Tidak terjadi apapun setelah cerita tadi. Kami berdua tertidur pulas dengan mimpi masing-masing. Esoknya hari minggu, kami langsung memanfaatkannya untuk mengunjungi orang tua kami masing-masing untuk memberitahu dan sekaligus pamit. Kami juga menyempatkan mengunjungi beberapa teman dan keluarga yang kami anggap perlu untuk dipamiti. Keesokan harinya di hari Senin, Paulin berangkat kerja seperti biasa. Sepulangnya dari kantor itulah Paulin memberitahukan tentang rencana ‘pesta itu’. Ya, Yoshi dan teman-temannya sekantor mencetuskan pesta perpisahan untuk dirinya. Bahkan mereka meminta pesta itu diadakan di rumah kami yang memang cukup luas. Paulin tidak bisa menolak dan membujukku untuk mau menjadi tuan rumah menerima Yoshi dan teman-temannya untuk berpesta di rumah kami. Awalnya jelas aku sangat keberatan. Aku sama sekali bukan orang yang gemar berpesta. Lebih dari itu aku paling tidak tahan dengan suasana bising. Akan tetapi, demi istriku aku pun mengalah. Lagipula aku yang penasaran dengan sosok Yoshi berpikir bahwa ini kesempatan untuk bisa bertemu dengan bos Paulin itu. Saat itu aku tidak punya pikiran buruk apapun mengenai apa yang akan terjadi di dalam pesta yang akan diadakan di akhir pekan mendatang itu. Yah… Kalau saja aku tahu…

**************

Bersambung ke ‘New Life in Japan Part Half : The Party’  

1 komentar: