The Second
Affair
Aku harusnya bisa menduga, dengan suasana kerja Paulin yang seperti itu,
besar sekali peluang untuk terjadi lagi perselingkuhan. Dan
kenyataannya itulah yang terjadi. Tiap hari sejak hari itu Paulin pulang
kantor lebih lambat dari biasanya. Namun karena tak pernah terlalu
larut aku pun tak keberatan. Saat aku bekerja dulu, jika harus lembur
tidak jarang sampai dini hari baru bisa pulang. Jadi kupikir itu hal
biasa. Paulin mengatakan bahwa kantornya sedang ada proyek dari Jepang.
Aku percaya, karna kadang dia juga membawa berkas-berkas pekerjaannya
pulang. Terkadang aku juga diajak berdiskusi dan brainstorming
terkait dengan pekerjaannya itu. Lagipula Paulin selalu pulang dengan
menumpang mobil Yenni. Aku pun jadi tak terlalu khawatir. Seminggu
kemudian sekitar jam 3 sore aku menelpon kantornya karna HPnya tak aktif
saat kuhubungi. Saat itu aku hendak pergi dan mungkin tak ada di rumah
saat istriku pulang. Kunci rumah akan kutitipkan pada tetangga sebelah.
Sebenarnya hal ini sudah biasa, tapi aku tetap merasa perlu memberitahu
Paulin. Teleponku diangkat. Yang menjawab suara pria. Entah siapa dia,
aku memang tak mengenal seorang pun teman pria Paulin. Pria itu
mengatakan bawa istriku sedang tak ada di tempat. Aku pun meminta bicara
dengan Yenni karena biasanya dia yang mengantar istriku pulang.
“Halo Wan…?” Terdengar suara renyah Yenni dari seberang.
“Halo Yen, kamu tahu Lina kemana? HPnya nggak aktif waktu kutelpon…” Aku langsung to the point
menanyakan Paulin. Yenni tertawa kecil dan menjawab, “Ooh Paulin sejak
istirahat siang tadi keluar bareng Yoshi, ga tau deh kemana?”
“Bareng Yoshi? Sejak istirahat siang tadi sampe sekarang juga belum kembali?” Tanyaku gusar.
“Iya…” Jawab Yenni masih tertawa, “dasar Yoshi, mentang-mentang bos
seenaknya aja pergi padahal banyak kerjaan numpuk nih di sini…”
Lanjutnya santai. Aku tak tahu harus berkata apa, pikiran yang buruk
langsung memenuhi kepalaku. Karna agak lama aku terdiam, Yenni tampaknya
tahu kegelisahanku, tapi bukannya menenangkan dia malah menggodaku.
“Ati-ati loh Wan punya istri secantik Paulin kudu dijaga bener-bener
tuh… Apalagi dari buaya macam Yoshi! Hi hi hi…” Ujarnya terkekeh.
Kesal sekali rasanya mendengar itu. Aku tak mau menanggapinya. “Ya sudah
nanti kalo Paulin sudah nyampe di kantor, please, suruh dia langsung
menghubungiku ya?” Pintaku.
“Siap bos!” Jawab Yenni kocak.
Kututup telponku, tak jadi kutitipkan pesan pada Yenni. Bahkan akhirnya
kuurungkan juga niatku untuk pergi. Sore itu aku gelisah menunggu
telepon atau balasan sms dari istriku. Setelah 2 jam menunggu tanpa
hasil, jam 5 sore kutelpon lagi kantornya. Jam segini biasanya jam
kantor berakhir. Semoga masih ada orang di sana yang bisa menjawab
teleponku.
“Halo… Sore…?” Suara wanita menjawab teleponku dan itu suara Paulin!
Betapa lega ketika kudengar suara istriku sendiri yang menjawab
langsung.
“Lin? Ini aku…” Sahutku.
“Ooh… Mas Wawan, ada apa mas…?” Jawab Paulin. Suaranya terdengar agak grogi.
“Kamu kutelpon dan ku-SMS sejak tadi… HPmu gak aktif?” Cecarku.
“Duh sori mas, HPku kutinggal di kantor, sejak tadi aku keluar sama Yoshi… Ini baru balik. Ada apa?” Jawab Paulin.
“Yenni ga bilang apa-apa ke kamu?” Tanyaku.
“Yenni? Aku nggak ketemu lagi sama dia, ini kita balik kantor udah sepi.
Di sini tinggal Yoshi sama aku aja.” Jawabnya. Cemburu sekali rasanya
mendengar dia tinggal berduaan saja dengan Yoshi setelah tadi sepanjang
siang juga pergi berduaan. Aku enggan menanyakan kemana dia pergi tadi
karna diam-diam aku malah takut sendiri mendengar jawabannya. “Ya sudah,
kamu segera pulang kan? Ga ada lembur kan, katanya yang lain udah pada
pulang?” Tanyaku lagi.
“Emmh, iya mas, semua memang udah pulang... Tapi…” Jawaban Paulin terputus.
“Kenapa? Masa kamu mau lembur sendirian?” Sergahku.
“Bukan itu mas, sudah ga ada lembur kok…” Jawabnya. “Cuman ini Yoshi
kayaknya masih nahan aku…” Lanjutnya terdengar agak ragu saat
memberitahuku. “Paling cepet jam 7 aku nyampe rumah mas… gapapa kan? Apa
penting banget?”
“Bukan penting sih, tapi… Sayang, kamu ngapain sama bosmu lagi itu…?” Tanyaku gusar.
Paulin terdiam beberapa saat. “Mas, aku tutup dulu ya…?” jawabnya. Oh
tidak. Dia mengelak menjawab pertanyaanku. “Maaf, ga enak, nanti aku ada
berita besar untukmu mas, tungguin aku di rumah ya honey? Aku tutup
dulu…” Ucap Paulin.
“Y…Ya… kutunggu nanti…” Jawabku pelan.
Aku harusnya mendampratnya dan menyuruhnya segera pulang. Tapi aku
seperti tak punya daya untuk itu. Paulin menutup telpon. Pikiranku makin
tidak karuan. Tapi kucoba untuk menenangkan diri dan berpikir positif.
Aku bertanya-tanya mengenai berita besar yang tadi disinggung Paulin.
Berita apa gerangan? Menunggu 2 jam lagi hingga jam 7 terasa begitu
lama. Apalagi setelah lewat jam 7 Paulin belum juga pulang sebagaimana
dijanjikannya. Aku makin gelisah dan tidak mood untuk melakukan apapun
sampai Paulin pulang. Yang kulakukan hanya menunggu. Kusetel televisi
tapi tak ada satupun acara yang menarik perhatianku. Kubuka-buka koran
atau majalah, sama saja, pikiranku tidak dapat teralihkan. Akhirnya aku
berbaring di ranjang hingga tanpa sadar aku ketiduran. Aku terbangun
saat kurasakan belaian di pipiku. Saat kubuka mataku wajah cantik Paulin
langsung menghiasi pandanganku. Ah… Istriku. Betapa leganya.
“Mas… maaf, nunggu lama ya?” Bisiknya pelan. Aku mengangguk. Kutengok jam dinding.
“Baru jam 9 kurang mas…” Tanpa kutanya Paulin menjawab seperti bisa
membaca pikiranku. Kucium wangi sabun yang khas. Rupanya Paulin sempat
mandi sebelum membangunkanku. Aku hendak bangkit tapi Paulin menahanku
dan justru dia yang rebah di sampingku. “Gak usah bangun mas…” Ucapnya.
“Mas… ada berita besar yang harus kusampaikan.” Gumamnya sambil mengelus-elus dadaku.
“Ini berita gembira mas… Yoshi ingin aku pergi ke Jepang untuk ikut
mengurus perusahaannya di sana...” Lanjutnya. Aku tersentak, kutengok
wajahnya namun tak sepatah katapun kuucapkan. Paulin menyadari
kekagetanku. Sambil tersenyum dia melanjutkan. “Surprise banget kan mas?
Gimana menurutmu mas? Ini kesempatan besar bagiku dan jelas gajinya
akan jauh lebih besar…” Ucapnya berbinar. “Kamu pernah bilang kan kalau
kamu pingin sekali pergi keluar negeri…? Ketika kutanya, kamu bilang
pertama pingin ke Amerika dan kedua kamu pingin banget ke Jepang. Masih
ingat?” Tanyanya.
Ya aku memang ingat pernah berandai-andai seperti itu. Aku manggut-manggut saja dan masih belum tahu juga harus berkata apa.
“Well, sekarang semua bukan mimpi lagi mas… Yah, tapi harus dibalik…
Pertama kita ke Jepang dulu, habis itu pasti nanti kita pasti bisa
mengumpulkan uang untuk berlibur ke Amerika atau bahkan Negara-negara
lainnya mas…” Ucap Paulin bersemangat.
“Tunggu dulu…” Akhirnya aku bersuara. “Kamu akan kerja apa di sana?
Bareng Yoshi juga atau kamu sendiri, trus berangkatnya kapan, berapa
lama, dan…” Aku memberondongnya dengan pertanyaan, tapi istriku segera
memotong,
“Kerjaanku masih dalam lingkup kerjaan yang sama kayak sekarang mas.
Advertising, periklanan, gitu deh… Yoshi ya tetap di Indonesia di kantor
sini… Tapi sekali sebulan dia akan menengokku di sana. Di sana itu
perusahaan keluarganya dia, tapi yang detilnya aku juga masih belum tahu
banyak. Yang jelas Yoshi sudah mempersiapkan segala sesuatunya untukku
di sana, dan minimal aku akan bekerja di sana sekitar 6 bulan…” Jelas
Paulin panjang lebar.
“Itu perintah atau tawaran, sayang?” Tanyaku.
Paulin tertawa. “Ya itu tawaran mas… Kenapa? Apa kamu berpikir untuk
menolak? Tapi tentu saja aku langsung menerimanya, kupikir kamu juga
pasti setuju dan senang kan?” Jawabnya.
“Yah, entahlah… kurasa begitu…” Jawabku ragu. Kubelai rambutnya dengan
lembut. Aku merasa harus mendukungnya, tapi kuberanikan diri untuk
menanyakan tentang Yoshi.
“Sayang…?” Agak ragu aku melanjutkan.
“Ya…?” Sahut Paulin.
“Lalu apa yang terjadi antara kamu dan Yoshi tadi…?” Tanyaku pelan.
Untuk sesaat tampak keraguan dalam diri Paulin. “Mmmm… Sayang… Aku tak
akan bohong padamu, kuharap kamu tak marah…” Jawab Paulin. Wajahnya
tersipu. Oh tidak, tampaknya jawaban yang kutakuti memang harus
kuterima.
“Apa… Apa dia merayumu lagi sayang?” Tanyaku gusar.
Paulin makin tersipu. “Well, sejak kejadian itu tidak ada hentinya dia merayu dan mengajakku lagi…” Jawabnya.
“Awalnya aku berusaha tegas dengan mengatakan sekali saja cukup. Aku
bahkan sudah menjelaskan bahwa kamu udah tahu tentang kejadian itu.
Dengan begitu kuharap dia berhenti merayuku…” Paulin berhenti sebentar
dan menghela napas.
“Dan…?” Desakku.
“Tapi dia malah bertanya apakah kamu marah dan dendam… Kujawab tidak,
aku bilang padanya bahwa kamu memaafkanku tidak akan
mengungkit-ungkitnya lagi… Kupikir Yoshi akan segan dengan begitu dan
tidak mengejar-ngejarku lagi. Tapi ternyata justru itu membuat dia makin
liar. Dasar mesum, aku sudah kewalahan sekali menghadapinya… Dia pikir
karna kamu tidak marah maka tidak ada masalah lagi bila kita
mengulanginya. Aku jadi kehilangan alasan untuk menghindarinya lagi…
Siang tadi adalah puncaknya. Yoshi mengajakku makan siang berdua di
hotel dalam rangka memberitahukan tentang berita gembira itu.” Lanjut
Paulin.
“Tentang Jepang itu?” Tanyaku.
“Iya…” Jawabnya. “Aku begitu senang mendengarnya, rasanya itu hadiah
yang sangat besar buatku. Aku juga tak sabar untuk segera memberitahumu,
tapi HPku tertinggal di kantor…” Lanjutnya.
“Kupikir sebagai tanda terima kasih aku akan memberinya kecupan
sekedarnya saja, tapi dia malah memelukku dan balas mencium bibirku. Aku
jelas tak bisa mengelak, apalagi di tempat umum begitu, entah bagaimana
jadinya kalau aku berontak dan orang-orang akan melihat kita dan
bertanya-tanya. Kita akan jadi pusat perhatian. Betapa malunya…
Salah-salah akan terjadi salah paham. Aku khawatir Yoshi akan marah dan
semuanya akan jadi berantakan. Aku pun berusaha bersikap wajar dan
kubiarkan Yoshi mencium bibirku untuk beberapa saat. Tapi tiba-tiba
Yoshi bangkit dan menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikutinya dan
ternyata dia menuju 1 kamar. Tahu-tahu dia sudah memegang kunci kamar
tersebut, agaknya dia sudah memesan kamar itu sebelum mengajakku kesana.
Sayang… Aku tidak bisa menghindar lagi saat itu. Kuharap kamu tidak
marah…” Akunya panjang lebar.
Aku bingung bagaimana harus merespon, darahku sudah naik ke ubun-ubun, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
“Ka… Kamu sudah tidur dengannya lagi…?” Betapa tololnya aku menanyakan sesuatu yang sudah jelas.
Paulin menghela napas. “Yoshi memang paling pintar kalo bikin rencana
mesum begitu…” Keluhnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi,
menghindar jelas sudah tidak mungkin. Akhirnya aku mencoba berpikir
positif saja. Dia sudah pernah sekali menyetubuhiku, dan kamu tidak
mempermasalahkannya, jadi kupikir tidak ada salahnya bila aku
melayaninya sekali lagi… Lagipula… Yah, dia sudah berbaik hati memberiku
kepercayaan dan kesempatan yang besar. Sejujurnya hatiku memang sedang
meluap bahagia karnanya saat itu…” Ringan sekali mulutnya mengucap
pengakuan itu.
Berbeda dengan yang pertama, kini sama sekali tidak kulihat tanda-tanda
penyesalan dalam dirinya. Aku sudah enggan mengomentarinya lagi. Aku
juga tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kualihkan pandangan
ke langit-langit kamar dan menerawang nanar. Kurasa Paulin menyadari
kekecewaan dan kesedihanku. Dia memelukku dan merebahkan kepalanya di
dadaku.
“Sayang… Aku sungguh minta maaf hal ini harus terjadi lagi… Tapi Yoshi
hanyalah seorang mata keranjang yang gila seks. Dia sama sekali tidak
berusaha merebutku dari tanganmu. Kurasa pernikahan bukanlah ide yang
baik bagi orang-orang macam dia. Kurasa kamu tak perlu khawatir… Dia
hanya ingin bersenang-senang denganku. Itu saja…”
Aku tetap diam. Kutelan mentah-mentah kata-kata istriku yang tidak masuk akal itu.
“Dan kupikir tidak ada gunanya aku menghindar. Aku tidak ingin seperti
pelacur. Jangan membayangkan ini seperti aku menjual tubuhku demi
kenaikan karir itu… Tidak sama sekali sayang… Satu-satunya jalan buatku
adalah dengan mencoba menikmatinya juga. Dan, well… Hal itu tidaklah
sulit...”
Kini aku benar-benar terusik.
“Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu tidak sulit?” Tanyaku gusar.
“Well… Kamu tahu, Yoshi memang pandai dalam urusan itu. Dari caranya
merayu, melambungkan perasaan wanita, hingga caranya bercinta… Sungguh
menakjubkan. Kupikir aku juga sedikit bersenang-senang hari ini sayang…”
Jawab Paulin polos.
Detik itu juga harusnya aku benar-benar meledak, tapi yang terjadi
justru anti klimaks. Darahku yang sudah memuncak di ubun-ubun kini
mengalir turun kembali. Tubuhku lemas tanpa daya, otakku tak dapat
berpikir jernih. Kupikir malam ini akan kudengarkan cerita istriku
sampai tuntas dan menelannya mentah-mentah.
“Sayang, kamu tentu tidak mengharapkan aku pulang sambil menangis dan
membawa kabar buruk bahwa istrimu ini telah diperkosa bukan?” Lanjut
Paulin. Dalam hati aku protes. Kupikir kalaupun Paulin menolak, Yoshi
tidak akan sampai nekat memperkosanya. Tapi, yah aku tidak sampai
mengucapnya. Semua itu kusimpan dalam hati saja.
“Harus kuakui, aku juga sedikit terbawa suasana. Kami bercinta sekali
saja tapi tidak tergesa-gesa. Yoshi juga tidak ambil pusing untuk
cepat-cepat kembali ke kantor. Sepertinya dia ingin menikmati waktunya
bersamaku tanpa gangguan apapun. Setelah bercinta dia juga dengan
santainya tidur siang dengan pulas. Aku sebenarnya tidak enak dengan
teman-teman di kantor karna… yah, kamu tahu, kerjaan sedang
banyak-banyaknya saat ini.” Paulin menghela napas sebentar dan
melanjutkan. “Tau-tau hari sudah sore dan ketika kami kembali ke kantor,
semua sudah pulang termasuk Yenni. Kupikir tak apa, toh aku biasa naik
taksi sendiri. Tapi Yoshi ingin bersamaku sedikit lebih lama lagi dan
dia berjanji akan mengantarku pulang… Saat itulah kamu telpon…”
“Ya, dan kamu menutup begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Tahukah kamu
gimana gelisahnya aku nungguin kamu pulang?” Timpalku mencoba
menunjukkan sedikit rasa keberatan.
“Aku benar-benar minta maaf soal itu sayang… Tapi bagaimana lagi, aku
tidak mungkin menceritakannya di telpon juga kan?” Jawab Paulin.
“Aku benar-benar cemburu, orangnya seperti apa sih Yoshi ini?” Tanyaku ketus.
Istriku tertawa. “Kalau kamu ketemu orangnya kamu bakal tahu kalau kamu
tidak perlu cemburu padanya sayang…” Jawab istriku. “Kamu tahu nggak,
justru Yoshi itu yang cemburu berat sama kamu. Dan bukan hanya Yoshi,
semua teman-teman priaku juga begitu. Mereka penasaran siapa dan kayak
apa kamu yang berhasil memiliki aku! Betapapun Yoshi sudah mencicipi
tubuhku, tapi itu ibarat seujung kotoran di kuku saja dibanding dengan
apa yang kamu miliki. Kamu itu memiliki aku sepenuhnya sayang… Jiwa dan
raga...!” Ujarnya tegas.
Aku tak tahu apakah seharusnya aku tidak termakan rayuan itu, tapi aku
merasakan ketulusan di dalam ucapannya itu. Dan perasaanku pun
melambung.
“Kamu tahu sayang… Seperti kamu punya harta milyaran dan kamu memberi
sedekah 100 rupiah pada pengemis di pinggir jalan.” Celetuk istriku
lagi. Aku tersenyum kecut mendengarnya, dan istriku juga ikut tertawa
kecil.
“Udah ah ngaco aja analogi kamu tuh…!” Sahutku ketus.
“Kamu tahu, aku benar-benar tegas menolak Yoshi sore itu dan minta
segera diantar pulang. Tapi Yoshi berkata bahwa dia tak akan membawaku
ke hotel lagi. Dia ingin bercinta di situ juga, di dalam ruang kantor
kami yang sudah sepi. Bahkan di lorong gedung atau di dalam lift. Aku
benar-benar kaget dengan ide gilanya itu. Dia mengutarakan semua itu
dengan gamblang dan vulgar. Tapi… Aku jadi kepikiran dan
mempertimbangkannya juga. Kamu tahu, itu benar-benar ide gila dan
kupikir aku ingin mencobanya juga. Hanya untuk merasakan sensasinya saja
sayang…” Paulin terus melanjutkan ceritanya. Dan sialnya aku mulai
terbawa lagi ke dalam ceritanya. Ya, penisku mulai berdenyut dan
menggeliat. Ah persetan, pikirku.
“Lalu apakah kalian benar-benar melakukannya?” Tanyaku penasaran.
“Yah tentu saja sayang, dan tahu nggak? Itu memang benar-benar ide
bagus!” Sahut istriku bersemangat. “Maksudku…Yah kupikir kita perlu juga
sekali-kali mencobanya…” Ujarnya serius. Sableng. Aku benar-benar jadi
tidak mengerti jalan pikirannya.
“Awalnya kami bercinta di dalam kantor. Gila. Kami bercinta di atas meja
kantor dan berpindah-pindah dari satu meja ke meja lainnya.
Membayangkan besok teman-temanku akan bekerja di mejanya masing-masing
tanpa mengetahui bahwa kemarinnya kami telah bercinta dengan hebat di
atas mejanya itu saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Apalagi
ketika Yoshi nekat menarikku keluar kantor dan menyetubuhiku di lorong
gedung. Aku benar-benar takut dan menolak pada awalnya… Tapi makin besar
kekhawatiranku, makin besar pula sensasi yang kurasakan. Yoshi
meyakinkanku bahwa seisi gedung sudah pulang semua. Memang biasanya
kantor kami yang paling terakhir tutup kalau hari sabtu begini. Dan
seisi gedung memang benar-benar sepi. Paling-paling cuma ada satpam di
lantai bawah saja, dan mereka jarang sekali berkeliling.” Aku
mendengarkan Paulin yang terus bercerita dengan santai. Aku tak pernah
datang ke kantor Paulin, jadi aku tak tahu bagaimana gambaran interior
kantornya atau bagaimana suasana gedungnya secara keseluruhan. Tapi yang
kutahu gedungnya memang tidak terlalu besar. Hanya 3 lantai dan tidak
lebih dari 10 kantor yang ada di sana. Ah… Sungguh ganjil suasana ini.
Seorang istri menceritakan kejadian detil perselingkuhannya kepada
suaminya sendiri. Si istri bercerita dengan semangat dan si suami
menjadi pendengar yang baik. Itulah keadaan kami sekarang, and I don’t really give a damn no more…
sigh.
“Sayang, kamu pasti tak percaya dengan apa yang kami lakukan
selanjutnya… Yoshi mengajakku turun ke lantai 1 dan tidak mengijinkanku
untuk berpakaian sama sekali!” Ucap Paulin bersemangat.
Oh, sulit sekali memang bagiku untuk mempercayainya. “Tidak masuk akal,
aku tidak bisa membayangkan kalian berdua telanjang berkeliaran di dalam
gedung…” Protesku.
Paulin terkekeh. “Kamu tahu sayang, Yoshi tidak pernah telanjang bulat
saat bercinta… Dia selalu menyisakan kaos dan celana kolornya untuk
tetap dipakai. Betapapun hebatnya kami bercinta, sampai keringatnya
banjir juga tidak mau buka baju dia. Tampaknya dia tidak pede dengan
tubuhnya yang gendut itu.” Jelasnya sambil terkekeh. “Itulah yang
membuatku cukup kesal pada awalnya, kalau kita sampai kepergok satpam
tentu aku yang paling malu. Dia sih enak pakai baju. Tapi itulah Yoshi,
kalau sudah bercinta, apa yang dimaunya tak bisa dibantah. Aku pasrah
saja dia menggelandang aku telanjang bulat di lorong gedung. Di lift
kami bercinta sambil berdiri. Perasaanku tidak bisa dilukiskan dengan
kata-kata mas…” Lanjutnya dengan mata berbinar. “Di lantai 1 pak Joko
dan pak Gito asik menonton TV di meja resepsionis. Mereka berdua satpam
di gedungku mas. Kamu tahu, begitu lift terbuka, kita langsung bisa
melihat ke arah meja resepsionis, dan kalau saja mereka menengok ke arah
lift tentu mereka juga akan langsung melihat kami. Untunglah perhatian
mereka mengarah pada TV itu… Itu benar-benar gila sayang… Kamu pasti
susah mempercayainya tapi itulah yang terjadi dan aku cukup terbawa
suasana itu. Kamu tahu, saat itu aku mengalami orgasme hebat. Sumpah!
Aku sendiri tidak tahu ternyata aku bisa begitu terangsang dengan itu.
Aku tidak pernah kepikiran, dan kalau bukan karna Yoshi tentu aku tidak
akan pernah mencoba dan merasakan sensasi itu.” Suara Paulin memelan.
Dia menghela napas dan melirikku dengan tatapan sayu. Oh tidak, kuharap
dia tidak menyadari bahwa aku juga sedang terangsang dengan mendengarkan
ceritanya itu.
“Sayang, bukannya aku mengatakan hubungan seks kita mengecewakan… Tidak
sama sekali. Percayalah…” Ucapnya. Ah, tampaknya dia khawatir aku
tersinggung. “Selama ini kamu sangat hebat dan bisa memuaskanku. Aku tak
pernah mengeluh. Kamu tahu aku jujur kan?” Tanyanya. Aku mengangguk
pelan. “Yaah… Aku juga tidak mau membayangkan kamu berselingkuh dengan
Yoshi gara-gara aku tidak bisa memuaskanmu…” Ucapku datar.
“Tidak sama sekali sayang. Percayalah!” Sahut Paulin cepat.
“Well… Kuharap begitu…” Aku menjawab lirih.
“Aku hanya menyadari bahwa ada variasi permainan cinta yang bisa membawa
kita pada level kepuasan yang lebih tinggi. Itu yang kualami tadi, dan…
dan aku benar-benar berharap suatu saat kita bisa mencobanya…” Paulin
tampaknya serius mengucap itu. Dan aku makin terangsang juga
membayangkannya. Entah aku berani mencobanya atau tidak. Jelas aku tidak
segila atau se’kreatif’ Yoshi. Kutarik napas panjang dan menghelanya.
“Lalu apa yang terjadi kemudian?” Tanyaku penasaran.
“Yoshi mendatangi pak Joko dan pak Gito. Aku sendiri disuruhnya
bersembunyi di balik dinding. Aku tak tahu apa yang disampaikan Yoshi,
yang jelas dia berusaha menyuruh para satpam itu pergi. Kurasa Yoshi
memberikan sejumlah uang pada mereka untuk beli rokok atau apa…” Tutur
Paulin melanjutkan ceritanya.
You know what?
Gilanya, aku sempat membayangkan Yoshi mengajak kedua satpam itu
bergabung dengannya menyetubuhi Paulin. Entah dengan bayangan itu aku
khawatir atau justru berharap. Oh tidak! Kupikir aku sedikit
mengharapkannya. What the fuck…?!
Apa yang terjadi pada diriku? Ini benar-benar tidak normal.
“Kamu tahu, aku dapat menangkap keheranan pak Joko dan pak Gito ketika
melihat Yoshi muncul hanya mengenakan kaos dan celana kolor dengan tubuh
penuh keringat. Kuharap Yoshi berbohong dengan mengatakan bahwa dia
sedang berolah raga, tapi kalau begitu apa kepentingan Yoshi dengan
menyuruh para satpam itu pergi…? Perasaanku berkecamuk saat itu.
Kupikir… Yah, kemungkinan besar pak Joko dan pak Gito tahu apa yang
terjadi. Aku jadi kepikiran bahwa ini bukan pertama kalinya bagi Yoshi…
Dan kedua satpam itu seperti sudah hafal dengan itu. Yah… Kupikir
begitu… Dasar Yoshi…!” Tampak gemas Paulin mengucap itu. “Setelah mereka
pergi Yoshi memanggilku. Aku tak pernah membayangkan berjalan-jalan
telanjang di dalam gedung, dan di lantai 1 itu aku benar-benar merasakan
sensasinya. Kamu tahu, seperti kebanyakan gedung, pintu gedungku juga
terbuat dari kaca sehingga orang dari luar bisa melihat ke dalam. Itu
sungguh luar biasa, jantungku berdebar hebat saat itu membayangkan
betapa tiap harinya ramai orang lalu lalang di situ. Dan bukan hanya
berjalan-jalan telanjang, Yoshi langsung mencumbuku lagi dan kami mulai
bercinta di atas meja resepsionis. Ya, di atas meja bukan di baliknya!
Yoshi merebahkan aku di situ dan menyetubuhiku sambil berdiri.”
Sial. Penisku kini benar-benar tegang. Aku tak tahan lagi, segera
kukeluarkan dari balik celana supaya lega. Paulin tersenyum tapi tidak
berkomentar apa-apa. Dengan tanggap, tangan kanannya meraih penisku dan
mengelusnya lembut.
“Itu hal tergila yang pernah aku lakukan sayang. Dan aku benar-benar
khawatir seseorang akan lewat dan melihat apa yang sedang kami lakukan
di dalam gedung itu. Yah walaupun peluangnya kecil… Aku meminta berganti
posisi doggy supaya aku bisa melihat ke arah pintu. Kamu tahu? Yoshi
tidak terlalu suka posisi doggy itu. Beda banget sama kamu…” Ujar Paulin
terkekeh.
Gerakan belaian tangannya di penisku kini berubah menjadi kocokan pelan.
Wajahku memerah, yah, doggy style itu adalah posisi favoritku saat
bercinta. Dan oh, betapa sekarang aku menginginkannya. Tapi kurasa akan
kudengarkan dulu cerita istriku sampai tuntas.
“Walau keberatan Yoshi mengabulkannya. Awalnya aku turun dan berdiri
menungging sambil memegang meja. Dengan begitu aku bisa mengawasi pintu.
Kami bersetubuh beberapa saat dengan posisi itu. Dan kemudian aku
mempunyai ide yang cukup gila… Aku merangkak ke atas meja sehingga
posisiku kembali sepenuhnya di atas meja. Seluruh tubuhku jadi terekspos
semuanya tanpa ada yang tersembunyi di balik meja. Itu kalau aku
membayangkan ada orang yang menonton kami dari luar. Hi hi hi… Tapi
tentu saja aku tak mau hal itu terjadi, itu hanya khayalanku saja… Tapi
hanya dengan membayangkan saja ada sensasi kenikmatan tersendiri yang
kurasakan.”
“Kami selesai sebelum gelap. Yah, sebenarnya sudah cukup gelap dan aku
benar-benar khawatir pak Joko dan pak Gito akan kembali untuk menyalakan
lampu….” Paulin menghela napas. “Sayang… Semoga kamu tidak marah kalau
kuakui dengan jujur bahwa aku sungguh menikmatinya. Itu adalah hal baru
dalam hidupku, dan… kurasa… Yah, aku berterimakasih pada Yoshi yang
membuatku mengalaminya…” Paulin seperti gemas membayangkan apa yang
dialaminya tadi sebagaimana dia menceritakannya. Aku dapat merasakan
dari kocokannya di penisku yang kini semakin kencang. Kurasa aku akan
keluar tapi tidak kuhentikan gerakan Paulin. Kubiarkan saja dia terus
melakukannya. Yah, rasanya aku akan membiarkan diriku mengalami orgasme
hanya dengan servis tangan Paulin. Kutarik tubuh Paulin makin erat ke
dalam pelukanku. Paulin nampaknya mengerti, dia pun mempercepat
kocokannya hingga, “Craatz…!” Spermaku menyembur keluar tanpa ampun.
Oohhh… Aku melenguh pelan, tak peduli spermaku akan mengotori sprei
ataupun celanaku. Kubiarkan orgasmeku membuncah hingga tuntas.
“Ahhhhh….” Desahku lirih merasa lega.
Paulin tersenyum dan menciumi pipiku. “Terima kasih sayang…” Bisiknya.
Diambilnya tisu dan mulai membersihkan spermaku. Aku diam saja tak
bergeming. Kubiarkan Paulin membersihkan penisku dan melucuti celanaku
yang paling banyak terkena lelehan sperma. Dia melakukannya tanpa
sungkan, kurasakan ketulusan seorang istri yang melayani suaminya.
“Lin…” Aku menggumamkan namanya tanpa ada apapun yang hendak kusampaikan.
Paulin tersenyum melirikku tanpa menjawab. Sejenak dia pergi ke kamar
mandi untuk mencuci tangannya dan melempar celana kotorku ke dalam ember
cucian. Saat kembali dia membawakan celana ganti dan memakaikannya
untukku. Hal ini sudah sangat biasa. Beginilah gambaran istriku yang
senantiasa melayaniku dengan sepenuh hati. Walau dia bekerja, tak pernah
dia mengeluh untuk melayaniku juga sebagai suaminya di rumah. Aku jadi
gemas dan segera kutarik dia kembali ke dalam pelukanku. Kuciumi pipi
lembutnya dengan gemas. Paulin melenguh manja dan itu membuatku semakin
gemas terhadapnya.
“Kamu nakal Lin…” Bisikku. Paulin tersipu tak menjawab. Kubelai-belai
pipinya dengan lembut. Kedua mata kami bertatapan sayu. “Biarlah Yoshi
memetik sedikit kenikmatan darimu, tapi kamu tetap milikku seutuhnya…”
Ucapku tegas.
Paulin tersenyum. “Tentu mas… Aku milikmu seutuhnya. Aku senang kamu
tidak membiarkan kenakalan Yoshi merusak kebahagiaan kita…” Jawabnya.
Untuk sesaat aku dan Paulin berbaring tanpa mengucap sepatah kata pun.
Kepala Paulin direbahkan di atas pundak kananku. Kubelai-belai rambutnya
dengan lembut dengan tangan kananku yang mendekapnya. Mata kami juga
tidak terpejam. Kami seakan asyik dengan pikiran masing-masing, dan aku
cukup menikmati suasana hening itu.
“So… Jepang…?” Gumamku memecah kebisuan.
Paulin menatapku dan tersenyum. “Everything is gonna be great, honey…”
Ucapnya.
“Kamu tahu aku akan selalu mendukungmu sayang… Jadi, kapan kita berangkat?” Tanyaku.
“Tidak terlalu terburu-buru kok. Kapan kita siap aja, kita harus pamitan
dulu dengan orang tua dan saudara…” Jawab Paulin. “Tapi sebenarnya
Yoshi sih berharap aku sudah siap dalam bulan ini…” Lanjutnya.
Aku termenung membayangkan dalam sebulan ini kami harus pindah ke
Jepang. Entah apa yang bisa kulakukan di sana nantinya. Apakah peran
‘bapak rumah tangga’ akan terus kujalani? Aku tahu Paulin tidak ingin
pikiran-pikiran seperti ini terus merisaukan diriku. Tapi sebagai
laki-laki naluriku tak bisa menolak untuk terus memikirkannya.
***********************
Begitulah cerita yang mengawali kisah kami yang kini sudah berada di
Tokyo. Paulin sudah tertidur pulas dalam pelukanku, sementara mataku
masih saja belum bisa tertutup. Entah jam berapa sekarang. Suasana rumah
besar ini sangat sepi. Tapi bukannya membuatku mengantuk melainkan
malah membuat pikiranku makin menerawang. Yah, lagipula ceritanya memang
masih belum selesai. Yang disinggung-singgung Paulin tadi adalah
masalah ‘pesta itu’. Lamunanku tadi memang lebih mundur ke belakang. Aku
menghela napas panjang. Perasaan aneh berdesir di dalam dadaku. Entah
perasaan apa itu. Campur aduk yang kurasakan. Memang, perselingkuhan
istriku dengan Yoshi tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang
terjadi dalam ‘pesta itu’. Pesta perpisahan istriku dan teman-teman
sekantornya, termasuk Yoshi. Ah, pikiranku pun kembali menerawang
mengingat-ingat pesta itu. Kembali ke malam di hari perselingkuhan kedua
Paulin. Tidak terjadi apapun setelah cerita tadi. Kami berdua tertidur
pulas dengan mimpi masing-masing. Esoknya hari minggu, kami langsung
memanfaatkannya untuk mengunjungi orang tua kami masing-masing untuk
memberitahu dan sekaligus pamit. Kami juga menyempatkan mengunjungi
beberapa teman dan keluarga yang kami anggap perlu untuk dipamiti.
Keesokan harinya di hari Senin, Paulin berangkat kerja seperti biasa.
Sepulangnya dari kantor itulah Paulin memberitahukan tentang rencana
‘pesta itu’. Ya, Yoshi dan teman-temannya sekantor mencetuskan pesta
perpisahan untuk dirinya. Bahkan mereka meminta pesta itu diadakan di
rumah kami yang memang cukup luas. Paulin tidak bisa menolak dan
membujukku untuk mau menjadi tuan rumah menerima Yoshi dan
teman-temannya untuk berpesta di rumah kami. Awalnya jelas aku sangat
keberatan. Aku sama sekali bukan orang yang gemar berpesta. Lebih dari
itu aku paling tidak tahan dengan suasana bising. Akan tetapi, demi
istriku aku pun mengalah. Lagipula aku yang penasaran dengan sosok Yoshi
berpikir bahwa ini kesempatan untuk bisa bertemu dengan bos Paulin itu.
Saat itu aku tidak punya pikiran buruk apapun mengenai apa yang akan
terjadi di dalam pesta yang akan diadakan di akhir pekan mendatang itu.
Yah… Kalau saja aku tahu…
**************
Bersambung ke ‘New Life in Japan Part Half : The Party’
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus