The Second
Affair
Aku harusnya bisa menduga, dengan suasana kerja Paulin yang seperti itu,
besar sekali peluang untuk terjadi lagi perselingkuhan. Dan
kenyataannya itulah yang terjadi. Tiap hari sejak hari itu Paulin pulang
kantor lebih lambat dari biasanya. Namun karena tak pernah terlalu
larut aku pun tak keberatan. Saat aku bekerja dulu, jika harus lembur
tidak jarang sampai dini hari baru bisa pulang. Jadi kupikir itu hal
biasa. Paulin mengatakan bahwa kantornya sedang ada proyek dari Jepang.
Aku percaya, karna kadang dia juga membawa berkas-berkas pekerjaannya
pulang. Terkadang aku juga diajak berdiskusi dan brainstorming
terkait dengan pekerjaannya itu. Lagipula Paulin selalu pulang dengan
menumpang mobil Yenni. Aku pun jadi tak terlalu khawatir. Seminggu
kemudian sekitar jam 3 sore aku menelpon kantornya karna HPnya tak aktif
saat kuhubungi. Saat itu aku hendak pergi dan mungkin tak ada di rumah
saat istriku pulang. Kunci rumah akan kutitipkan pada tetangga sebelah.
Sebenarnya hal ini sudah biasa, tapi aku tetap merasa perlu memberitahu
Paulin. Teleponku diangkat. Yang menjawab suara pria. Entah siapa dia,
aku memang tak mengenal seorang pun teman pria Paulin. Pria itu
mengatakan bawa istriku sedang tak ada di tempat. Aku pun meminta bicara
dengan Yenni karena biasanya dia yang mengantar istriku pulang.
“Halo Wan…?” Terdengar suara renyah Yenni dari seberang.
“Halo Yen, kamu tahu Lina kemana? HPnya nggak aktif waktu kutelpon…” Aku langsung to the point
menanyakan Paulin. Yenni tertawa kecil dan menjawab, “Ooh Paulin sejak
istirahat siang tadi keluar bareng Yoshi, ga tau deh kemana?”
“Bareng Yoshi? Sejak istirahat siang tadi sampe sekarang juga belum kembali?” Tanyaku gusar.
“Iya…” Jawab Yenni masih tertawa, “dasar Yoshi, mentang-mentang bos
seenaknya aja pergi padahal banyak kerjaan numpuk nih di sini…”
Lanjutnya santai. Aku tak tahu harus berkata apa, pikiran yang buruk
langsung memenuhi kepalaku. Karna agak lama aku terdiam, Yenni tampaknya
tahu kegelisahanku, tapi bukannya menenangkan dia malah menggodaku.
“Ati-ati loh Wan punya istri secantik Paulin kudu dijaga bener-bener
tuh… Apalagi dari buaya macam Yoshi! Hi hi hi…” Ujarnya terkekeh.
Kesal sekali rasanya mendengar itu. Aku tak mau menanggapinya. “Ya sudah
nanti kalo Paulin sudah nyampe di kantor, please, suruh dia langsung
menghubungiku ya?” Pintaku.
“Siap bos!” Jawab Yenni kocak.
Kututup telponku, tak jadi kutitipkan pesan pada Yenni. Bahkan akhirnya
kuurungkan juga niatku untuk pergi. Sore itu aku gelisah menunggu
telepon atau balasan sms dari istriku. Setelah 2 jam menunggu tanpa
hasil, jam 5 sore kutelpon lagi kantornya. Jam segini biasanya jam
kantor berakhir. Semoga masih ada orang di sana yang bisa menjawab
teleponku.
“Halo… Sore…?” Suara wanita menjawab teleponku dan itu suara Paulin!
Betapa lega ketika kudengar suara istriku sendiri yang menjawab
langsung.
“Lin? Ini aku…” Sahutku.
“Ooh… Mas Wawan, ada apa mas…?” Jawab Paulin. Suaranya terdengar agak grogi.
“Kamu kutelpon dan ku-SMS sejak tadi… HPmu gak aktif?” Cecarku.
“Duh sori mas, HPku kutinggal di kantor, sejak tadi aku keluar sama Yoshi… Ini baru balik. Ada apa?” Jawab Paulin.
“Yenni ga bilang apa-apa ke kamu?” Tanyaku.
“Yenni? Aku nggak ketemu lagi sama dia, ini kita balik kantor udah sepi.
Di sini tinggal Yoshi sama aku aja.” Jawabnya. Cemburu sekali rasanya
mendengar dia tinggal berduaan saja dengan Yoshi setelah tadi sepanjang
siang juga pergi berduaan. Aku enggan menanyakan kemana dia pergi tadi
karna diam-diam aku malah takut sendiri mendengar jawabannya. “Ya sudah,
kamu segera pulang kan? Ga ada lembur kan, katanya yang lain udah pada
pulang?” Tanyaku lagi.
“Emmh, iya mas, semua memang udah pulang... Tapi…” Jawaban Paulin terputus.
“Kenapa? Masa kamu mau lembur sendirian?” Sergahku.
“Bukan itu mas, sudah ga ada lembur kok…” Jawabnya. “Cuman ini Yoshi
kayaknya masih nahan aku…” Lanjutnya terdengar agak ragu saat
memberitahuku. “Paling cepet jam 7 aku nyampe rumah mas… gapapa kan? Apa
penting banget?”
“Bukan penting sih, tapi… Sayang, kamu ngapain sama bosmu lagi itu…?” Tanyaku gusar.
Paulin terdiam beberapa saat. “Mas, aku tutup dulu ya…?” jawabnya. Oh
tidak. Dia mengelak menjawab pertanyaanku. “Maaf, ga enak, nanti aku ada
berita besar untukmu mas, tungguin aku di rumah ya honey? Aku tutup
dulu…” Ucap Paulin.
“Y…Ya… kutunggu nanti…” Jawabku pelan.
Aku harusnya mendampratnya dan menyuruhnya segera pulang. Tapi aku
seperti tak punya daya untuk itu. Paulin menutup telpon. Pikiranku makin
tidak karuan. Tapi kucoba untuk menenangkan diri dan berpikir positif.
Aku bertanya-tanya mengenai berita besar yang tadi disinggung Paulin.
Berita apa gerangan? Menunggu 2 jam lagi hingga jam 7 terasa begitu
lama. Apalagi setelah lewat jam 7 Paulin belum juga pulang sebagaimana
dijanjikannya. Aku makin gelisah dan tidak mood untuk melakukan apapun
sampai Paulin pulang. Yang kulakukan hanya menunggu. Kusetel televisi
tapi tak ada satupun acara yang menarik perhatianku. Kubuka-buka koran
atau majalah, sama saja, pikiranku tidak dapat teralihkan. Akhirnya aku
berbaring di ranjang hingga tanpa sadar aku ketiduran. Aku terbangun
saat kurasakan belaian di pipiku. Saat kubuka mataku wajah cantik Paulin
langsung menghiasi pandanganku. Ah… Istriku. Betapa leganya.
“Mas… maaf, nunggu lama ya?” Bisiknya pelan. Aku mengangguk. Kutengok jam dinding.
“Baru jam 9 kurang mas…” Tanpa kutanya Paulin menjawab seperti bisa
membaca pikiranku. Kucium wangi sabun yang khas. Rupanya Paulin sempat
mandi sebelum membangunkanku. Aku hendak bangkit tapi Paulin menahanku
dan justru dia yang rebah di sampingku. “Gak usah bangun mas…” Ucapnya.
“Mas… ada berita besar yang harus kusampaikan.” Gumamnya sambil mengelus-elus dadaku.
“Ini berita gembira mas… Yoshi ingin aku pergi ke Jepang untuk ikut
mengurus perusahaannya di sana...” Lanjutnya. Aku tersentak, kutengok
wajahnya namun tak sepatah katapun kuucapkan. Paulin menyadari
kekagetanku. Sambil tersenyum dia melanjutkan. “Surprise banget kan mas?
Gimana menurutmu mas? Ini kesempatan besar bagiku dan jelas gajinya
akan jauh lebih besar…” Ucapnya berbinar. “Kamu pernah bilang kan kalau
kamu pingin sekali pergi keluar negeri…? Ketika kutanya, kamu bilang
pertama pingin ke Amerika dan kedua kamu pingin banget ke Jepang. Masih
ingat?” Tanyanya.
Ya aku memang ingat pernah berandai-andai seperti itu. Aku manggut-manggut saja dan masih belum tahu juga harus berkata apa.
“Well, sekarang semua bukan mimpi lagi mas… Yah, tapi harus dibalik…
Pertama kita ke Jepang dulu, habis itu pasti nanti kita pasti bisa
mengumpulkan uang untuk berlibur ke Amerika atau bahkan Negara-negara
lainnya mas…” Ucap Paulin bersemangat.
“Tunggu dulu…” Akhirnya aku bersuara. “Kamu akan kerja apa di sana?
Bareng Yoshi juga atau kamu sendiri, trus berangkatnya kapan, berapa
lama, dan…” Aku memberondongnya dengan pertanyaan, tapi istriku segera
memotong,
“Kerjaanku masih dalam lingkup kerjaan yang sama kayak sekarang mas.
Advertising, periklanan, gitu deh… Yoshi ya tetap di Indonesia di kantor
sini… Tapi sekali sebulan dia akan menengokku di sana. Di sana itu
perusahaan keluarganya dia, tapi yang detilnya aku juga masih belum tahu
banyak. Yang jelas Yoshi sudah mempersiapkan segala sesuatunya untukku
di sana, dan minimal aku akan bekerja di sana sekitar 6 bulan…” Jelas
Paulin panjang lebar.
“Itu perintah atau tawaran, sayang?” Tanyaku.
Paulin tertawa. “Ya itu tawaran mas… Kenapa? Apa kamu berpikir untuk
menolak? Tapi tentu saja aku langsung menerimanya, kupikir kamu juga
pasti setuju dan senang kan?” Jawabnya.
“Yah, entahlah… kurasa begitu…” Jawabku ragu. Kubelai rambutnya dengan
lembut. Aku merasa harus mendukungnya, tapi kuberanikan diri untuk
menanyakan tentang Yoshi.
“Sayang…?” Agak ragu aku melanjutkan.
“Ya…?” Sahut Paulin.
“Lalu apa yang terjadi antara kamu dan Yoshi tadi…?” Tanyaku pelan.
Untuk sesaat tampak keraguan dalam diri Paulin. “Mmmm… Sayang… Aku tak
akan bohong padamu, kuharap kamu tak marah…” Jawab Paulin. Wajahnya
tersipu. Oh tidak, tampaknya jawaban yang kutakuti memang harus
kuterima.
“Apa… Apa dia merayumu lagi sayang?” Tanyaku gusar.
Paulin makin tersipu. “Well, sejak kejadian itu tidak ada hentinya dia merayu dan mengajakku lagi…” Jawabnya.
“Awalnya aku berusaha tegas dengan mengatakan sekali saja cukup. Aku
bahkan sudah menjelaskan bahwa kamu udah tahu tentang kejadian itu.
Dengan begitu kuharap dia berhenti merayuku…” Paulin berhenti sebentar
dan menghela napas.
“Dan…?” Desakku.
“Tapi dia malah bertanya apakah kamu marah dan dendam… Kujawab tidak,
aku bilang padanya bahwa kamu memaafkanku tidak akan
mengungkit-ungkitnya lagi… Kupikir Yoshi akan segan dengan begitu dan
tidak mengejar-ngejarku lagi. Tapi ternyata justru itu membuat dia makin
liar. Dasar mesum, aku sudah kewalahan sekali menghadapinya… Dia pikir
karna kamu tidak marah maka tidak ada masalah lagi bila kita
mengulanginya. Aku jadi kehilangan alasan untuk menghindarinya lagi…
Siang tadi adalah puncaknya. Yoshi mengajakku makan siang berdua di
hotel dalam rangka memberitahukan tentang berita gembira itu.” Lanjut
Paulin.
“Tentang Jepang itu?” Tanyaku.
“Iya…” Jawabnya. “Aku begitu senang mendengarnya, rasanya itu hadiah
yang sangat besar buatku. Aku juga tak sabar untuk segera memberitahumu,
tapi HPku tertinggal di kantor…” Lanjutnya.
“Kupikir sebagai tanda terima kasih aku akan memberinya kecupan
sekedarnya saja, tapi dia malah memelukku dan balas mencium bibirku. Aku
jelas tak bisa mengelak, apalagi di tempat umum begitu, entah bagaimana
jadinya kalau aku berontak dan orang-orang akan melihat kita dan
bertanya-tanya. Kita akan jadi pusat perhatian. Betapa malunya…
Salah-salah akan terjadi salah paham. Aku khawatir Yoshi akan marah dan
semuanya akan jadi berantakan. Aku pun berusaha bersikap wajar dan
kubiarkan Yoshi mencium bibirku untuk beberapa saat. Tapi tiba-tiba
Yoshi bangkit dan menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikutinya dan
ternyata dia menuju 1 kamar. Tahu-tahu dia sudah memegang kunci kamar
tersebut, agaknya dia sudah memesan kamar itu sebelum mengajakku kesana.
Sayang… Aku tidak bisa menghindar lagi saat itu. Kuharap kamu tidak
marah…” Akunya panjang lebar.
Aku bingung bagaimana harus merespon, darahku sudah naik ke ubun-ubun, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
“Ka… Kamu sudah tidur dengannya lagi…?” Betapa tololnya aku menanyakan sesuatu yang sudah jelas.
Paulin menghela napas. “Yoshi memang paling pintar kalo bikin rencana
mesum begitu…” Keluhnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi,
menghindar jelas sudah tidak mungkin. Akhirnya aku mencoba berpikir
positif saja. Dia sudah pernah sekali menyetubuhiku, dan kamu tidak
mempermasalahkannya, jadi kupikir tidak ada salahnya bila aku
melayaninya sekali lagi… Lagipula… Yah, dia sudah berbaik hati memberiku
kepercayaan dan kesempatan yang besar. Sejujurnya hatiku memang sedang
meluap bahagia karnanya saat itu…” Ringan sekali mulutnya mengucap
pengakuan itu.
Berbeda dengan yang pertama, kini sama sekali tidak kulihat tanda-tanda
penyesalan dalam dirinya. Aku sudah enggan mengomentarinya lagi. Aku
juga tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kualihkan pandangan
ke langit-langit kamar dan menerawang nanar. Kurasa Paulin menyadari
kekecewaan dan kesedihanku. Dia memelukku dan merebahkan kepalanya di
dadaku.
“Sayang… Aku sungguh minta maaf hal ini harus terjadi lagi… Tapi Yoshi
hanyalah seorang mata keranjang yang gila seks. Dia sama sekali tidak
berusaha merebutku dari tanganmu. Kurasa pernikahan bukanlah ide yang
baik bagi orang-orang macam dia. Kurasa kamu tak perlu khawatir… Dia
hanya ingin bersenang-senang denganku. Itu saja…”
Aku tetap diam. Kutelan mentah-mentah kata-kata istriku yang tidak masuk akal itu.
“Dan kupikir tidak ada gunanya aku menghindar. Aku tidak ingin seperti
pelacur. Jangan membayangkan ini seperti aku menjual tubuhku demi
kenaikan karir itu… Tidak sama sekali sayang… Satu-satunya jalan buatku
adalah dengan mencoba menikmatinya juga. Dan, well… Hal itu tidaklah
sulit...”
Kini aku benar-benar terusik.
“Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu tidak sulit?” Tanyaku gusar.
“Well… Kamu tahu, Yoshi memang pandai dalam urusan itu. Dari caranya
merayu, melambungkan perasaan wanita, hingga caranya bercinta… Sungguh
menakjubkan. Kupikir aku juga sedikit bersenang-senang hari ini sayang…”
Jawab Paulin polos.
Detik itu juga harusnya aku benar-benar meledak, tapi yang terjadi
justru anti klimaks. Darahku yang sudah memuncak di ubun-ubun kini
mengalir turun kembali. Tubuhku lemas tanpa daya, otakku tak dapat
berpikir jernih. Kupikir malam ini akan kudengarkan cerita istriku
sampai tuntas dan menelannya mentah-mentah.
“Sayang, kamu tentu tidak mengharapkan aku pulang sambil menangis dan
membawa kabar buruk bahwa istrimu ini telah diperkosa bukan?” Lanjut
Paulin. Dalam hati aku protes. Kupikir kalaupun Paulin menolak, Yoshi
tidak akan sampai nekat memperkosanya. Tapi, yah aku tidak sampai
mengucapnya. Semua itu kusimpan dalam hati saja.
“Harus kuakui, aku juga sedikit terbawa suasana. Kami bercinta sekali
saja tapi tidak tergesa-gesa. Yoshi juga tidak ambil pusing untuk
cepat-cepat kembali ke kantor. Sepertinya dia ingin menikmati waktunya
bersamaku tanpa gangguan apapun. Setelah bercinta dia juga dengan
santainya tidur siang dengan pulas. Aku sebenarnya tidak enak dengan
teman-teman di kantor karna… yah, kamu tahu, kerjaan sedang
banyak-banyaknya saat ini.” Paulin menghela napas sebentar dan
melanjutkan. “Tau-tau hari sudah sore dan ketika kami kembali ke kantor,
semua sudah pulang termasuk Yenni. Kupikir tak apa, toh aku biasa naik
taksi sendiri. Tapi Yoshi ingin bersamaku sedikit lebih lama lagi dan
dia berjanji akan mengantarku pulang… Saat itulah kamu telpon…”
“Ya, dan kamu menutup begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Tahukah kamu
gimana gelisahnya aku nungguin kamu pulang?” Timpalku mencoba
menunjukkan sedikit rasa keberatan.
“Aku benar-benar minta maaf soal itu sayang… Tapi bagaimana lagi, aku
tidak mungkin menceritakannya di telpon juga kan?” Jawab Paulin.
“Aku benar-benar cemburu, orangnya seperti apa sih Yoshi ini?” Tanyaku ketus.
Istriku tertawa. “Kalau kamu ketemu orangnya kamu bakal tahu kalau kamu
tidak perlu cemburu padanya sayang…” Jawab istriku. “Kamu tahu nggak,
justru Yoshi itu yang cemburu berat sama kamu. Dan bukan hanya Yoshi,
semua teman-teman priaku juga begitu. Mereka penasaran siapa dan kayak
apa kamu yang berhasil memiliki aku! Betapapun Yoshi sudah mencicipi
tubuhku, tapi itu ibarat seujung kotoran di kuku saja dibanding dengan
apa yang kamu miliki. Kamu itu memiliki aku sepenuhnya sayang… Jiwa dan
raga...!” Ujarnya tegas.
Aku tak tahu apakah seharusnya aku tidak termakan rayuan itu, tapi aku
merasakan ketulusan di dalam ucapannya itu. Dan perasaanku pun
melambung.
“Kamu tahu sayang… Seperti kamu punya harta milyaran dan kamu memberi
sedekah 100 rupiah pada pengemis di pinggir jalan.” Celetuk istriku
lagi. Aku tersenyum kecut mendengarnya, dan istriku juga ikut tertawa
kecil.
“Udah ah ngaco aja analogi kamu tuh…!” Sahutku ketus.
“Kamu tahu, aku benar-benar tegas menolak Yoshi sore itu dan minta
segera diantar pulang. Tapi Yoshi berkata bahwa dia tak akan membawaku
ke hotel lagi. Dia ingin bercinta di situ juga, di dalam ruang kantor
kami yang sudah sepi. Bahkan di lorong gedung atau di dalam lift. Aku
benar-benar kaget dengan ide gilanya itu. Dia mengutarakan semua itu
dengan gamblang dan vulgar. Tapi… Aku jadi kepikiran dan
mempertimbangkannya juga. Kamu tahu, itu benar-benar ide gila dan
kupikir aku ingin mencobanya juga. Hanya untuk merasakan sensasinya saja
sayang…” Paulin terus melanjutkan ceritanya. Dan sialnya aku mulai
terbawa lagi ke dalam ceritanya. Ya, penisku mulai berdenyut dan
menggeliat. Ah persetan, pikirku.
“Lalu apakah kalian benar-benar melakukannya?” Tanyaku penasaran.
“Yah tentu saja sayang, dan tahu nggak? Itu memang benar-benar ide
bagus!” Sahut istriku bersemangat. “Maksudku…Yah kupikir kita perlu juga
sekali-kali mencobanya…” Ujarnya serius. Sableng. Aku benar-benar jadi
tidak mengerti jalan pikirannya.
“Awalnya kami bercinta di dalam kantor. Gila. Kami bercinta di atas meja
kantor dan berpindah-pindah dari satu meja ke meja lainnya.
Membayangkan besok teman-temanku akan bekerja di mejanya masing-masing
tanpa mengetahui bahwa kemarinnya kami telah bercinta dengan hebat di
atas mejanya itu saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Apalagi
ketika Yoshi nekat menarikku keluar kantor dan menyetubuhiku di lorong
gedung. Aku benar-benar takut dan menolak pada awalnya… Tapi makin besar
kekhawatiranku, makin besar pula sensasi yang kurasakan. Yoshi
meyakinkanku bahwa seisi gedung sudah pulang semua. Memang biasanya
kantor kami yang paling terakhir tutup kalau hari sabtu begini. Dan
seisi gedung memang benar-benar sepi. Paling-paling cuma ada satpam di
lantai bawah saja, dan mereka jarang sekali berkeliling.” Aku
mendengarkan Paulin yang terus bercerita dengan santai. Aku tak pernah
datang ke kantor Paulin, jadi aku tak tahu bagaimana gambaran interior
kantornya atau bagaimana suasana gedungnya secara keseluruhan. Tapi yang
kutahu gedungnya memang tidak terlalu besar. Hanya 3 lantai dan tidak
lebih dari 10 kantor yang ada di sana. Ah… Sungguh ganjil suasana ini.
Seorang istri menceritakan kejadian detil perselingkuhannya kepada
suaminya sendiri. Si istri bercerita dengan semangat dan si suami
menjadi pendengar yang baik. Itulah keadaan kami sekarang, and I don’t really give a damn no more…
sigh.
“Sayang, kamu pasti tak percaya dengan apa yang kami lakukan
selanjutnya… Yoshi mengajakku turun ke lantai 1 dan tidak mengijinkanku
untuk berpakaian sama sekali!” Ucap Paulin bersemangat.
Oh, sulit sekali memang bagiku untuk mempercayainya. “Tidak masuk akal,
aku tidak bisa membayangkan kalian berdua telanjang berkeliaran di dalam
gedung…” Protesku.
Paulin terkekeh. “Kamu tahu sayang, Yoshi tidak pernah telanjang bulat
saat bercinta… Dia selalu menyisakan kaos dan celana kolornya untuk
tetap dipakai. Betapapun hebatnya kami bercinta, sampai keringatnya
banjir juga tidak mau buka baju dia. Tampaknya dia tidak pede dengan
tubuhnya yang gendut itu.” Jelasnya sambil terkekeh. “Itulah yang
membuatku cukup kesal pada awalnya, kalau kita sampai kepergok satpam
tentu aku yang paling malu. Dia sih enak pakai baju. Tapi itulah Yoshi,
kalau sudah bercinta, apa yang dimaunya tak bisa dibantah. Aku pasrah
saja dia menggelandang aku telanjang bulat di lorong gedung. Di lift
kami bercinta sambil berdiri. Perasaanku tidak bisa dilukiskan dengan
kata-kata mas…” Lanjutnya dengan mata berbinar. “Di lantai 1 pak Joko
dan pak Gito asik menonton TV di meja resepsionis. Mereka berdua satpam
di gedungku mas. Kamu tahu, begitu lift terbuka, kita langsung bisa
melihat ke arah meja resepsionis, dan kalau saja mereka menengok ke arah
lift tentu mereka juga akan langsung melihat kami. Untunglah perhatian
mereka mengarah pada TV itu… Itu benar-benar gila sayang… Kamu pasti
susah mempercayainya tapi itulah yang terjadi dan aku cukup terbawa
suasana itu. Kamu tahu, saat itu aku mengalami orgasme hebat. Sumpah!
Aku sendiri tidak tahu ternyata aku bisa begitu terangsang dengan itu.
Aku tidak pernah kepikiran, dan kalau bukan karna Yoshi tentu aku tidak
akan pernah mencoba dan merasakan sensasi itu.” Suara Paulin memelan.
Dia menghela napas dan melirikku dengan tatapan sayu. Oh tidak, kuharap
dia tidak menyadari bahwa aku juga sedang terangsang dengan mendengarkan
ceritanya itu.
“Sayang, bukannya aku mengatakan hubungan seks kita mengecewakan… Tidak
sama sekali. Percayalah…” Ucapnya. Ah, tampaknya dia khawatir aku
tersinggung. “Selama ini kamu sangat hebat dan bisa memuaskanku. Aku tak
pernah mengeluh. Kamu tahu aku jujur kan?” Tanyanya. Aku mengangguk
pelan. “Yaah… Aku juga tidak mau membayangkan kamu berselingkuh dengan
Yoshi gara-gara aku tidak bisa memuaskanmu…” Ucapku datar.
“Tidak sama sekali sayang. Percayalah!” Sahut Paulin cepat.
“Well… Kuharap begitu…” Aku menjawab lirih.
“Aku hanya menyadari bahwa ada variasi permainan cinta yang bisa membawa
kita pada level kepuasan yang lebih tinggi. Itu yang kualami tadi, dan…
dan aku benar-benar berharap suatu saat kita bisa mencobanya…” Paulin
tampaknya serius mengucap itu. Dan aku makin terangsang juga
membayangkannya. Entah aku berani mencobanya atau tidak. Jelas aku tidak
segila atau se’kreatif’ Yoshi. Kutarik napas panjang dan menghelanya.
“Lalu apa yang terjadi kemudian?” Tanyaku penasaran.
“Yoshi mendatangi pak Joko dan pak Gito. Aku sendiri disuruhnya
bersembunyi di balik dinding. Aku tak tahu apa yang disampaikan Yoshi,
yang jelas dia berusaha menyuruh para satpam itu pergi. Kurasa Yoshi
memberikan sejumlah uang pada mereka untuk beli rokok atau apa…” Tutur
Paulin melanjutkan ceritanya.
You know what?
Gilanya, aku sempat membayangkan Yoshi mengajak kedua satpam itu
bergabung dengannya menyetubuhi Paulin. Entah dengan bayangan itu aku
khawatir atau justru berharap. Oh tidak! Kupikir aku sedikit
mengharapkannya. What the fuck…?!
Apa yang terjadi pada diriku? Ini benar-benar tidak normal.
“Kamu tahu, aku dapat menangkap keheranan pak Joko dan pak Gito ketika
melihat Yoshi muncul hanya mengenakan kaos dan celana kolor dengan tubuh
penuh keringat. Kuharap Yoshi berbohong dengan mengatakan bahwa dia
sedang berolah raga, tapi kalau begitu apa kepentingan Yoshi dengan
menyuruh para satpam itu pergi…? Perasaanku berkecamuk saat itu.
Kupikir… Yah, kemungkinan besar pak Joko dan pak Gito tahu apa yang
terjadi. Aku jadi kepikiran bahwa ini bukan pertama kalinya bagi Yoshi…
Dan kedua satpam itu seperti sudah hafal dengan itu. Yah… Kupikir
begitu… Dasar Yoshi…!” Tampak gemas Paulin mengucap itu. “Setelah mereka
pergi Yoshi memanggilku. Aku tak pernah membayangkan berjalan-jalan
telanjang di dalam gedung, dan di lantai 1 itu aku benar-benar merasakan
sensasinya. Kamu tahu, seperti kebanyakan gedung, pintu gedungku juga
terbuat dari kaca sehingga orang dari luar bisa melihat ke dalam. Itu
sungguh luar biasa, jantungku berdebar hebat saat itu membayangkan
betapa tiap harinya ramai orang lalu lalang di situ. Dan bukan hanya
berjalan-jalan telanjang, Yoshi langsung mencumbuku lagi dan kami mulai
bercinta di atas meja resepsionis. Ya, di atas meja bukan di baliknya!
Yoshi merebahkan aku di situ dan menyetubuhiku sambil berdiri.”
Sial. Penisku kini benar-benar tegang. Aku tak tahan lagi, segera
kukeluarkan dari balik celana supaya lega. Paulin tersenyum tapi tidak
berkomentar apa-apa. Dengan tanggap, tangan kanannya meraih penisku dan
mengelusnya lembut.
“Itu hal tergila yang pernah aku lakukan sayang. Dan aku benar-benar
khawatir seseorang akan lewat dan melihat apa yang sedang kami lakukan
di dalam gedung itu. Yah walaupun peluangnya kecil… Aku meminta berganti
posisi doggy supaya aku bisa melihat ke arah pintu. Kamu tahu? Yoshi
tidak terlalu suka posisi doggy itu. Beda banget sama kamu…” Ujar Paulin
terkekeh.
Gerakan belaian tangannya di penisku kini berubah menjadi kocokan pelan.
Wajahku memerah, yah, doggy style itu adalah posisi favoritku saat
bercinta. Dan oh, betapa sekarang aku menginginkannya. Tapi kurasa akan
kudengarkan dulu cerita istriku sampai tuntas.
“Walau keberatan Yoshi mengabulkannya. Awalnya aku turun dan berdiri
menungging sambil memegang meja. Dengan begitu aku bisa mengawasi pintu.
Kami bersetubuh beberapa saat dengan posisi itu. Dan kemudian aku
mempunyai ide yang cukup gila… Aku merangkak ke atas meja sehingga
posisiku kembali sepenuhnya di atas meja. Seluruh tubuhku jadi terekspos
semuanya tanpa ada yang tersembunyi di balik meja. Itu kalau aku
membayangkan ada orang yang menonton kami dari luar. Hi hi hi… Tapi
tentu saja aku tak mau hal itu terjadi, itu hanya khayalanku saja… Tapi
hanya dengan membayangkan saja ada sensasi kenikmatan tersendiri yang
kurasakan.”
“Kami selesai sebelum gelap. Yah, sebenarnya sudah cukup gelap dan aku
benar-benar khawatir pak Joko dan pak Gito akan kembali untuk menyalakan
lampu….” Paulin menghela napas. “Sayang… Semoga kamu tidak marah kalau
kuakui dengan jujur bahwa aku sungguh menikmatinya. Itu adalah hal baru
dalam hidupku, dan… kurasa… Yah, aku berterimakasih pada Yoshi yang
membuatku mengalaminya…” Paulin seperti gemas membayangkan apa yang
dialaminya tadi sebagaimana dia menceritakannya. Aku dapat merasakan
dari kocokannya di penisku yang kini semakin kencang. Kurasa aku akan
keluar tapi tidak kuhentikan gerakan Paulin. Kubiarkan saja dia terus
melakukannya. Yah, rasanya aku akan membiarkan diriku mengalami orgasme
hanya dengan servis tangan Paulin. Kutarik tubuh Paulin makin erat ke
dalam pelukanku. Paulin nampaknya mengerti, dia pun mempercepat
kocokannya hingga, “Craatz…!” Spermaku menyembur keluar tanpa ampun.
Oohhh… Aku melenguh pelan, tak peduli spermaku akan mengotori sprei
ataupun celanaku. Kubiarkan orgasmeku membuncah hingga tuntas.
“Ahhhhh….” Desahku lirih merasa lega.
Paulin tersenyum dan menciumi pipiku. “Terima kasih sayang…” Bisiknya.
Diambilnya tisu dan mulai membersihkan spermaku. Aku diam saja tak
bergeming. Kubiarkan Paulin membersihkan penisku dan melucuti celanaku
yang paling banyak terkena lelehan sperma. Dia melakukannya tanpa
sungkan, kurasakan ketulusan seorang istri yang melayani suaminya.
“Lin…” Aku menggumamkan namanya tanpa ada apapun yang hendak kusampaikan.
Paulin tersenyum melirikku tanpa menjawab. Sejenak dia pergi ke kamar
mandi untuk mencuci tangannya dan melempar celana kotorku ke dalam ember
cucian. Saat kembali dia membawakan celana ganti dan memakaikannya
untukku. Hal ini sudah sangat biasa. Beginilah gambaran istriku yang
senantiasa melayaniku dengan sepenuh hati. Walau dia bekerja, tak pernah
dia mengeluh untuk melayaniku juga sebagai suaminya di rumah. Aku jadi
gemas dan segera kutarik dia kembali ke dalam pelukanku. Kuciumi pipi
lembutnya dengan gemas. Paulin melenguh manja dan itu membuatku semakin
gemas terhadapnya.
“Kamu nakal Lin…” Bisikku. Paulin tersipu tak menjawab. Kubelai-belai
pipinya dengan lembut. Kedua mata kami bertatapan sayu. “Biarlah Yoshi
memetik sedikit kenikmatan darimu, tapi kamu tetap milikku seutuhnya…”
Ucapku tegas.
Paulin tersenyum. “Tentu mas… Aku milikmu seutuhnya. Aku senang kamu
tidak membiarkan kenakalan Yoshi merusak kebahagiaan kita…” Jawabnya.
Untuk sesaat aku dan Paulin berbaring tanpa mengucap sepatah kata pun.
Kepala Paulin direbahkan di atas pundak kananku. Kubelai-belai rambutnya
dengan lembut dengan tangan kananku yang mendekapnya. Mata kami juga
tidak terpejam. Kami seakan asyik dengan pikiran masing-masing, dan aku
cukup menikmati suasana hening itu.
“So… Jepang…?” Gumamku memecah kebisuan.
Paulin menatapku dan tersenyum. “Everything is gonna be great, honey…”
Ucapnya.
“Kamu tahu aku akan selalu mendukungmu sayang… Jadi, kapan kita berangkat?” Tanyaku.
“Tidak terlalu terburu-buru kok. Kapan kita siap aja, kita harus pamitan
dulu dengan orang tua dan saudara…” Jawab Paulin. “Tapi sebenarnya
Yoshi sih berharap aku sudah siap dalam bulan ini…” Lanjutnya.
Aku termenung membayangkan dalam sebulan ini kami harus pindah ke
Jepang. Entah apa yang bisa kulakukan di sana nantinya. Apakah peran
‘bapak rumah tangga’ akan terus kujalani? Aku tahu Paulin tidak ingin
pikiran-pikiran seperti ini terus merisaukan diriku. Tapi sebagai
laki-laki naluriku tak bisa menolak untuk terus memikirkannya.
***********************
Begitulah cerita yang mengawali kisah kami yang kini sudah berada di
Tokyo. Paulin sudah tertidur pulas dalam pelukanku, sementara mataku
masih saja belum bisa tertutup. Entah jam berapa sekarang. Suasana rumah
besar ini sangat sepi. Tapi bukannya membuatku mengantuk melainkan
malah membuat pikiranku makin menerawang. Yah, lagipula ceritanya memang
masih belum selesai. Yang disinggung-singgung Paulin tadi adalah
masalah ‘pesta itu’. Lamunanku tadi memang lebih mundur ke belakang. Aku
menghela napas panjang. Perasaan aneh berdesir di dalam dadaku. Entah
perasaan apa itu. Campur aduk yang kurasakan. Memang, perselingkuhan
istriku dengan Yoshi tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang
terjadi dalam ‘pesta itu’. Pesta perpisahan istriku dan teman-teman
sekantornya, termasuk Yoshi. Ah, pikiranku pun kembali menerawang
mengingat-ingat pesta itu. Kembali ke malam di hari perselingkuhan kedua
Paulin. Tidak terjadi apapun setelah cerita tadi. Kami berdua tertidur
pulas dengan mimpi masing-masing. Esoknya hari minggu, kami langsung
memanfaatkannya untuk mengunjungi orang tua kami masing-masing untuk
memberitahu dan sekaligus pamit. Kami juga menyempatkan mengunjungi
beberapa teman dan keluarga yang kami anggap perlu untuk dipamiti.
Keesokan harinya di hari Senin, Paulin berangkat kerja seperti biasa.
Sepulangnya dari kantor itulah Paulin memberitahukan tentang rencana
‘pesta itu’. Ya, Yoshi dan teman-temannya sekantor mencetuskan pesta
perpisahan untuk dirinya. Bahkan mereka meminta pesta itu diadakan di
rumah kami yang memang cukup luas. Paulin tidak bisa menolak dan
membujukku untuk mau menjadi tuan rumah menerima Yoshi dan
teman-temannya untuk berpesta di rumah kami. Awalnya jelas aku sangat
keberatan. Aku sama sekali bukan orang yang gemar berpesta. Lebih dari
itu aku paling tidak tahan dengan suasana bising. Akan tetapi, demi
istriku aku pun mengalah. Lagipula aku yang penasaran dengan sosok Yoshi
berpikir bahwa ini kesempatan untuk bisa bertemu dengan bos Paulin itu.
Saat itu aku tidak punya pikiran buruk apapun mengenai apa yang akan
terjadi di dalam pesta yang akan diadakan di akhir pekan mendatang itu.
Yah… Kalau saja aku tahu…
**************
Bersambung ke ‘New Life in Japan Part Half : The Party’
Koleksi dewasa terlengkap, mulai dari bokep 3gp, asian, west, anime, & hentai via Mediafire & ziddu (request)
Jumat, 30 Mei 2014
New Life in Japan Part Zero: The Prequel 1
The Arrival
Aku terjaga setelah mendengar pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat ini akan mendarat di Bandara Narita Tokyo. Kulongok keluar jendela. Cuaca begitu cerah. Entah jam berapa sekarang di Jepang, tapi kupikir sudah hampir sore. Istriku masih tampak terlelap. Aku enggan membangunkannya. Nanti sajalah kalau pesawat sudah benar-benar mendarat. Sepanjang perjalanan kami lebih sering diam atau tidur. Bisa dikatakan ini bukanlah masa-masa paling romantis dalam kehidupan rumah tangga kami. Namaku Wawan. Bulan depan usiaku genap 32 tahun. Wanita cantik yang terlelap di sampingku ini adalah Paulin istriku. Ya, dia begitu cantik, kalau tidak boleh dikatakan sempurna. Semua ciri standar kecantikan wanita yang hampir disepakati semua pria manapun di dunia ini ada pada istriku. Kulit yang putih mulus tanpa noda, tubuh yang langsing namun tidak ceking, rambut lurus yang panjang terurai, hidung yang mancung, alis tebal, leher jenjang, pokoknya semuanya. You name it… Tinggi badan yang 167 cm sangat pas dan sempurna buatku yang tingginya hanya 173 cm. Begitu juga dengan bentuk payudaranya yang besar alami. Tidak terlalu besar tentu saja. Bentuknya pas dan sempurna seakan ditatah dengan sangat hati-hati oleh penciptanya. Yah, bagian tubuh yang satu itu memang favoritku. Dan lagi, Paulin masih sangat muda. Usiaku dengannya terpaut cukup jauh. Baru 2 bulan yang lalu dia berulangtahun yang ke 24. Masih sangat muda dibanding karirnya yang begitu cemerlang. Yah, sebenarnya karirnya itulah yang kini menjadi ganjalan dalam hatiku. Semenjak dipecat 2 tahun lalu hingga kini aku tidak bekerja, sementara sebaliknya karir Paulin sedang menanjak naik. Walhasil selama 2 tahun ini dialah yang membuat ‘dapur rumahku tetap mengepul’. Sebenarnya Paulin sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja ada semacam perasaan ‘kalah’ di dalam hatiku sebagai laki-laki. Kedatangan kami ke Jepang ini sendiri adalah dalam rangka lonjakan karirnya. Dia dipercaya bosnya yang asli Jepang untuk mengelola perusahaan barunya di Tokyo. Walhasil diriku ini seperti suami yang ‘nunut’ istri saja.
Pesawat kami sudah mendarat di Narita. Benar-benar kagum aku melihat bandara yang sangat besar, jauh lebih besar dari bandara di Jakarta yang tadinya juga sempat kukagumi karena besarnya, tapi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding bandara di ibukota Jepang ini. Diam-diam terselip lagi perasaan iri terhadap istriku yang akan segera meniti karir di Negara yang sangat maju ini. Tak ada orang yang menjemput kami, tapi dengan pede Paulin sudah tahu harus kemana hanya dengan melihat catatan kecil yang diberi bosnya. Paulin sedikit menguasai percakapan dalam bahasa Jepang, jadi ketika ada sedikit kebingungan dengan luwes dia bertanya pada petugas atau orang lain di sekitar situ. Kami tidak naik taksi melainkan kereta untuk menuju tujuan berikut yang ternyata cukup jauh juga dari bandara. Bahkan karena lamanya perjalanan, kami melewati terbenamnya matahari di dalam kereta itu. Barulah saat sampai di stasiun yang aku tak sempat mengetahui namanya, kami segera menyambung lagi dengan taksi menuju tempat singgah sementara kami di Tokyo. Saat itu hari sudah agak malam. Tempat singgah kami malam ini adalah rumah dari kerabat bos Paulin. Kami akan menginap 1 malam di sana dan besok baru akan mulai menempati tempat tinggal baru yang entah dimana. Agaknya semua sudah dipersiapkan oleh bos Paulin. Rumah ini sangatlah besar dan luas. Aku sempat canggung ketika memasukinya. Akan tetapi orang-orang di situ tampak begitu ramah. Lebih ramah dibanding dengan orang Indonesia kurasa. Yang menemui kami hanya 2 orang laki-laki dan perempuan yang tampak sudah berumur. Entah mereka itu siapanya bos Paulin, atau apakah mereka pasangan suami istri atau bukan, aku tidak tahu dan tidak terlalu ambil pusing. Istriku bercakap2 sebentar dengan mereka, entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi Paulin yang supel tampak langsung akrab dengan mereka. Tak lama kemudian mereka memanggil pelayan untuk mengantar kami ke kamar yang telah disediakan. Pelayan perempuan setengah baya itu tampak begitu cantik dengan kimono yang dipakainya. Dia juga tampak begitu sopan dan penurut. Sering menunduk, tidak pernah menatap langsung, dan juga tidak banyak bicara. Paulin sempat mencubit aku yang berkali-kali mencuri pandang pada pelayan itu. Dengan ‘ndeso’nya aku berpikir, “Secantik itu di sini hanya jadi pelayan, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang iklan dia…”
Rumah yang begitu besar itu tampak sunyi. Tak kulihat penghuni lain selain 2 orang yang menerima kami tadi, pelayan ini, serta pelayan lain yang tadi membukakan pintu untuk kami. Sesampai di kamar, Paulin menanyakan sesuatu pada pelayan itu, kemudian pelayan itu menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk tempat di dalam kamar. Entah apa yang ditanyakannya. Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan tempat tidur, dengan masih mengenakan piyama mandinya, Paulin sudah membuka-buka laptopnya dan mencoba mengakses internet. Agaknya dia ingin segera mengabari teman-teman terdekatnya. Aku sendiri mulai berbaring. Terasa lemas badan ini. Mataku menerawang menatap langit-langit. Tak ada yang kulamunkan, pikiranku kosong saat itu. Entah berapa lama aku begitu, atau mungkin aku sempat tertidur tanpa sadar, yang jelas tahu-tahu kudapati Paulin sudah berbaring di sebelahku, memelukku dan merebahkan kepalanya di pundakku sambil menggumam manja. Kucium wangi rambutnya, dan aku pun balas mendekapnya. Kami kemudian saling bertatapan tanpa bicara. Entah kenapa aku merasa canggung dan kagok dengan istriku sendiri itu. Mungkin karena sikap diamku sejak keberangkatan kami hingga sekarang ini.
“Mas…” gumam Paulin pelan.
“Yaa…?” Jawabku.
Paulin terdiam. Agaknya dia juga bingung merangkai kata-kata. Dibelainya pipiku lembut. Jempolnya kemudian menarik ujung bibirku seakan memaksaku tersenyum.
“Mas kok kayaknya cemberut aja dari tadi…?” Tanyanya gusar.
Aku menghela napas. “Masa sih…? Aku gapapa kok…” Jawabku.
“Yah yang jelas raut muka mas itu loh… kayaknya gak bersemangat banget.” Ucapnya lagi.
“Yah… Gak tau deh, namanya juga baru pindah di tempat baru yang jauh dan asing banget… biasalah…” Jawabku.
Paulin tersenyum manis. “Gak marah kan?” Tanyanya manja.
“Ya gaklah… kenapa harus marah…?” Sahutku.
“Soal pesta itu…” Istriku tidak meneruskan kalimatnya. Wajahnya kini terlihat sayu.
Aku gantian membelai pipi lembutnya, “Udah ga usah diungkit-ungkit lagi sayang…” jawabku.
Paulin pun tersenyum lagi. Pelukannya bertambah erat, kepalanya beringsut direbahkan di atas dadaku. Kucium rambutnya dengan perasaan sayang, pelukanku juga kueratkan, mataku kembali menerawang.
“Kita pasti bahagia di sini mas… Kamu pasti betah. Jepang Negara yang menyenangkan…” Ucap Paulin tanpa menatap kembali ke arahku. Aku diam tak menjawab. “Kalau ternyata tidak berhasil, kita bisa kembali kapan saja…” Lanjutnya.
“Ssst…” Sahutku pelan.
“Kita baru sampai, jangan bicara yang nggak-nggak…” Lanjutku menenangkan.
Paulin tidak menjawab lagi. Mungkin dia sudah mencoba untuk tidur. Dan aku pun kembali menerawang sambil membelai-belai rambutnya. Teringat tadi saat di dalam taksi Paulin sempat menanyakan hal yang sama, yaitu soal diamnya aku. Dia menanyakan apakah aku marah tentang ‘pesta itu’. Walau tadi sudah kujawab bahwa aku tidak marah sejak awal, tapi rasanya sikap diamku yang berlanjut masih membuatnya penasaran. Diamku ini memang bukan ngambek gara-gara ‘pesta itu’. Walau bukan berarti juga ‘pesta itu’ tak kupikirkan sama sekali, bahkan kini aku pun kembali terngiang-ngiang mengingatnya. Yaitu pesta malam perpisahan istriku dengan rekan-rekan kantornya di Indonesia. Masih detail kuingat dalam kepalaku bagaimana keseluruhan pesta itu berlangsung.
#################################
Flashback…
Yah, peristiwa itu masih tetap terbayang secara detil di dalam benakku. Bahkan, ingatanku pun jadi menerawang lebih mundur lagi ke beberapa hari sebelum pesta perpisahan itu. Yah, kalau diceritakan memang harus bermula dari situ. Yaitu peristiwa perselingkuhan Paulin dengan bosnya. Ya. Perselingkuhan. Sulit untuk dipercaya aku mendapati Paulin berselingkuh. Paulin dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga dengan kultur Jawa yang kental. Kakeknya memang orang Jerman, jadi sedikit banyak istriku itu blasteran Jawa dan Jerman. Tapi dia lahir di Jawa, bapak ibunya juga lahir di Jawa dan dia pun dibesarkan dengan didikan kultur Jawa. Saat berpacaran, kami juga tidak pernah melakukan seks bebas. Keperawanannya baru kucicipi saat malam pertama pernikahan kami. Bisa dibayangkan betapa istimewanya saat itu bagiku. Pernikahanku yang berjalan 5 tahun lebih, nyaris tanpa prahara. Kehidupan kami sangat bahagia meskipun kami belum juga dikaruniai momongan. Setelah diselidiki lebih lanjut, ketahuanlah bahwa ternyata benihkulah yang kurang ‘unggul’ dan sangat lemah. Walau tidak sampai dicap mandul, perasaanku sangat hancur saat itu. Dokter menasehati supaya berusaha lebih keras, bersabar dan berdoa. Dokter juga menyarankan banyak menu2 makanan yang baiknya kukonsumsi. Paulin sendiri sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. Dengan penuh pengertian dia senantiasa menghiburku. Begitu juga saat aku di-PHK oleh perusahaan. Paulin juga menenangkanku dengan mengatakan bahwa penghasilannya saja sudah cukup untuk menghidupi kami berdua. Saat aku mulai frustasi karna tak juga segera mendapat pekerjaan, istriku mengatakan untuk tidak terlalu ‘ngoyo’ dan terbebani, Dia bahkan menyarankanku untuk beristirahat saja. Sebagai laki-laki aku jelas merasa harga diriku jatuh di mata istriku. Aku benar-benar merasa seperti pecundang. Namun Paulin selalu menunjukkan sikap untuk meyakinkanku bahwa dirinya tidak pernah mengeluh dengan keadaanku. Begitulah istriku yang teramat istimewa bagiku. Itulah mengapa aku seakan tidak percaya ketika mengetahui tentang perselingkuhannya. Barangkali aku terlalu naif, karena kecantikan Paulin tentu memikat banyak rekan-rekan prianya. Saat itu kuingat Paulin menangis memohon ampun. Dapat kulihat betapa besar penyesalannya. Padahal entah kenapa, aku sendiri sama sekali tidak meledak marah saat itu. Ya, aku lebih banyak terdiam seribu bahasa. Aku seakan bingung bagaimana harus bersikap meski perasaanku begitu hancur. Aku teramat menyayangi istriku. Tidak tega rasanya memarahi dirinya. Melihatnya menangis saja sudah membuat hatiku trenyuh dan luluh. Terlebih aku menyadari betapa peranku yang sangat kecil dibanding Paulin dalam membangun rumah tangga kami. Aku benar-benar merasa tidak berarti saat itu. Rasa-rasanya aku tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kupeluk dan kubelai rambutnya untuk menunjukkan bahwa aku memaafkannya. Tangisnya pun berangsur reda. Paulin membalas pelukanku dengan erat. Aku pun makin luluh. Malam itu kami tidur berpelukan seakan tidak terjadi apapun.
Perusahaan tempat Paulin bekerja bergerak di bidang periklanan dan multimedia. Dia sering bercerita bahwa suasana di kantornya sangat menyenangkan dan jauh dari suasana formal. Mungkin memang begitu harusnya sebuah industri yang erat kaitannya dengan seni dan kreatifitas itu. Hubungan antar karyawan, dan bahkan dengan bos sekalipun sangat cair dan akrab. Canda dan tawa sudah biasa untuk menghilangkan kepenatan dalam bekerja. Kebebasan seperti itulah yang membuat Paulin sangat menikmati perjalanan karirnya. Keesokan harinya, dalam suasana santai istriku membuka percakapan mengenai perselingkuhannya. Sungguh tak kuduga-duga dia akan menyinggung hal itu. Padahal aku sendiri ingin membuang jauh-jauh ingatan itu dan menganggapnya tak pernah terjadi. Tapi kini istriku sendirilah yang malah mengungkitnya. Yang mengherankan, mimiknya terlihat santai seolah hendak membicarakan sesuatu yang biasa saja.
“Mas… mengenai semalam… Mas bener-bener nggak marah kan?” Tanyanya.
Aku menghela napas tanpa menjawab. Kuperlihatkan raut muka ketus supaya ia paham bahwa aku sama sekali tak ingin membicarakan hal itu. Meskipun tampak menyadarinya, ternyata Paulin tak bergeming.
“Yoshi memang mata keranjang dan sudah lama dia mengincar aku…” Lanjut Paulin.
Yoshi adalah nama bosnya yang asli Jepang. Begitulah, memanggil bosnya saja langsung dengan namanya tanpa embel-embel “pak”. Aku makin bersungut-sungut membayangkan bagaimana keakraban di antara mereka.
“Sebelum aku lanjutin, mas perlu tahu bahwa aku sama sekali gak mengkhianati mas, aku gak mengkhianati pernikahan kita. Aku tetep cinta mas sepenuh hati…” Ujar Paulin.
“Lin, hal itu gak usah diungkit-ungkit lagi… ok?” Akhirnya aku menanggapinya.
“Nggak mas, justru aku ingin membicarakannya…” Sahut Paulin tegas. Aku agak terkejut mendengarnya. Entah apa maunya istriku ini.
“Aku nggak tahu kenapa mas nggak marah. Bukan berarti aku ingin mas marah, lagipula memang tidak seharusnya mas marah… Hanya saja normalnya tiap suami mustinya marah kalo istrinya selingkuh.” Jelas Paulin mbulet. Aku tertegun mendengarnya.
“Maksudmu apa sih?” Tanyaku gusar.
“Aku takut mas nggak marah tapi memendam dendam di hati.” Jawab Paulin.
“Bukan begitu, aku justru ingin melupakannya. Sudah. Itu sudah berlalu… Aku akan menganggapnya tidak pernah terjadi.” Jawabku.
“Tapi itu kan terjadi mas. Hanya karena mas gak mau membicarakannya bukan berarti hal itu tidak pernah terjadi…” Sahut Paulin. Nadanya meninggi.
“Lalu maumu bagaimana…?” Aku semakin gusar.
“Pertama aku ingin mas percaya bahwa secuil pun rasa cintaku pada mas gak hilang. Dan bahwa aku ingin terus hidup bersama mas sampai akhir hayat… Aku ingin mas tidak meragukannya.” Paulin menunjukkan raut serius. Aku manggut-manggut saja tanpa menjawab.
“Please, aku ingin mas yakin itu…” Lanjut Paulin mendesak.
“Sayang…. Aku mempercayainya sebesar aku ingin mempercayainya. Aku juga nggak ingin kehilangan kamu… Laki-laki bodoh mana yang mau melepas istri sebaik dan secantik kamu…” Aku mencoba meyakinkan istriku. “Aku tahu pasti bukan hanya bosmu aja kan yang ngincer kamu? Temen-temen kantor kamu juga pastilah menginginkan kamu.” Lanjutku. “Aku ingat bagaimana aku dulu begitu tergila-gila sama kamu. Aku masih ingat karna sampai sekarang pun aku masih tergila-gila sama kamu…” Aku memungkasi. Kuharap Paulin bisa tenang dengan kata-kataku yang jujur itu. Benarlah, wajahnya memerah. Dia pun tersenyum dan mengecup pipiku lembut. “Makasih mas…” bisiknya.
“Sebagai wanita aku juga seneng dan bangga ditaksir banyak laki-laki…” Ucapnya kemudian.
“Dasar perempuan, seneng banget ya jadi pusat perhatian…?” Godaku ketus.
“Iyalah… Udah naluri…” Jawab Paulin tertawa kecil.
“Tapi bukan berarti kamu bisa jatuh ke pelukan laki-laki lain dong… kamu kan udah punya aku.” Sindirku.
Paulin tersenyum. Dia menatapku kemudian mencubit hidungku gemas. “Nah… kepikiran juga kan…?” Godanya.
“Temen-temen di kantorku itu gila semua mas… Kamu kan udah sering kuceritai tentang suasana di kantorku yang sangat cair…?” Lanjutnya.
“Yang namanya cowok kalo lihat yang bening dikit aja udah blingsatan. Trus jadi nakal, suka menggoda-goda cari perhatian… Kadang sampe ganggu banget…” Paulin terus nyerocos.
“Tapi pria-pria di kantorku itu jauh lebih gila lagi. Lebih nakal lagi… Parah deh pokoknya!” Istriku terus bercerita dengan semangat. Kalau sudah begini biasanya aku akan jadi pendengar yang baik. Paulin pun melanjutkan, “Kalau cowok lain paling cuma suit-suit atau merayu-rayu dengan konyol. Tapi pria di kantorku udah kebangetan deh pornonya…”
Terhenyak aku mendengar istriku mengucap kata ‘porno’.
“Yaah kita biasa bercanda gitu di kantor. Tahulah…” Lanjut Paulin.
“Ya kamu kan udah biasa cerita itu…” Jawabku gusar.
“Ya tapi aku belum pernah cerita bercandanya kayak gimana kan?” Sahut Paulin. Aku terdiam. “Yah awal-awal sih bercanda biasa aja. Sedikit menggoda kukira wajar. Tapi lama-kelamaan seiring dengan makin akrabnya kita, mereka udah pada berani main tangan. Colek-colek gitu deh… bahkan remas pantat itu udah biasa banget. Makanan sehari-hari!” Lanjutnya. Aku tertegun mendengarnya. Rekan kerja pria Paulin biasa meremas pantatnya? Pikiranku cukup terusik. Perhatianku pun mulai tertarik kepada cerita Paulin.
“Di kantorku yang cewek kan bukan hanya aku aja mas. Selain aku ada 4 orang lagi. Yenni dan Susan kamu udah kenal kan? Lainnya ada Lisa sama Ai…” Lanjut Paulin.
Aku mengangguk. Yenni dan Susan yang disebut Paulin sudah beberapa kali datang ke rumah sehingga aku mengenal mereka. “Hmmm, si Lisa sama Ai itu apa juga secantik Jenni dan Susan?” Selidikku.
Paulin tertawa kecil. Dicubitnya pinggangku. “Nah itu mas, kami berlima semuanya cantik-cantik! Kayaknya si Yoshi emang sengaja memperkerjakan cewek cantik saja… Udah kubilang kan dia kayak gimana. Nah di antara para pria itu, yang paling parah ya si Yoshi itu!” Jawab Paulin bersemangat. Heran aku melihatnya. Dia menceritakan kenakalan teman-teman pria di kantornya tapi bukan dengan nada sewot melainkan dengan nada riang. Aku cukup terusik dengan kenyataan itu. Tapi entah kenapa aku sendiri juga ingin mendengarkan lebih lanjut.
“Lebih parah gimana maksudmu…?” Tanyaku.
“Yaah, namanya juga bos, dia yang paling berani… Kita lengah dikit aja deh, dada kita langsung diremasnya!” Jelas Paulin berbinar. Aku jelas terkejut mendengarnya.
“Haah dia suka mencuri-curi meremas dada begitu??” Tanyaku gusar.
“Iya mas. Bahkan dia suka memprovokasi karyawan cowok lainnya. Kalo udah berhasil meremas dada dia suka memamerkan kemenangannya dan mengejek mereka. Kalo yang lain kan hanya berani remas pantat, nah dia menantang keberanian yang lain untuk melakukan hal yang sama kayak dia.” Jelas Paulin.
“Sayang… Bukankah itu pelecehan namanya? Kalian harusnya bisa melaporkannya kan…?” Aku makin gusar.
Mendengar pertanyaanku yang lugu itu Paulin tertawa. “Yaah ga perlu sampe gitu lah mas… Semuanya kan hanya dalam rangka bercanda saja. Itu gambaran suasana di kantorku yang bebas dan akrab berbeda dengan kantor-kantor lainnya. Yah, hampir semua karyawan kantorku itu kan seniman. Total yang kerja di situ hanya 13 orang. 9 pria dan 5 wanita. Dan itu sudah 3 tahun tidak berganti. Tak ada yang keluar, dan nggak ada juga orang baru yang masuk. Ya kita jadi akrab dan saling mengenal satu sama lain dengan baik.” Paulin menjelaskan panjang lebar. Walau begitu masih sukar bagiku untuk mempercayainya.
“Yang jelas itu suasana di kantorku sehari-hari. Itu kultur kerjaku. Bercandanya ya begitu itu. Kalopun hanya obrolan, seringkali obrolannya menjurus ke hal-hal yang cabul. Tentu nggak langsung begitu pada awalnya. Semua itu setelah kami sudah sangat akrab. Aku nggak tahu gimana menjelaskannya padamu, mungkin kamu harus melihat atau mengalaminya sendiri supaya paham. Yang jelas itu bukan hal yang membuat kami para wanita risih…” Paulin meneruskan ceritanya.
Aku terus mendengarkannya dengan seksama dan gilanya tanpa kusadari penisku mulai mengalami ereksi. Damn! Aku sendiri tak percaya dan seakan ingin marah pada diriku sendiri. Aku pun menyilangkan kaki supaya Paulin tidak menyadarinya.
“Kami para wanita menyadari bahwa Yoshi itu memperkerjakan kami karna memilih kecantikan kami. Dan kami juga sadar sehari-harinya kami jadi objek pemanis di kantor. Yah, apalagi dengan ditambahi semua godaan-godaan dan obrolan-obrolan cabul itu, semua itu justru kadang membuat kami ge-er dan yaahh… kamu tahulah, kami sedikit bangga karenanya…” Sambil mengatakan itu Paulin melirik mataku, ingin mengetahui bagaimana reaksiku mendengarnya.
Tapi aku sendiri nyaris tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Mungkin karena sibuk menyembunyikan ereksiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bersikap begitu. Wanita cantik yang duduk di sampingku ini istriku sendiri. Milikku. Harusnya tidak aneh jika aku yang sedang ereksi ini langsung menubruk dan menggaulinya saat ini juga. Tapi aku malah memilih mendengarkan ceritanya lebih lanjut.
“Kami sudah terbiasa dengan suasana itu dan kurasa memang begitulah sewajarnya reaksi pria manapun terhadap wanita cantik. Si Lisa sama Susan yang belum menikah malah mengawali dengan berani bersikap bitchy loh… Mereka memang nekat. Dari cara bicaranya sampai pakaiannya semuanya ‘mengundang’. Awalnya, aku, Yenni, dan Ai tertawa saja dengan tingkah mereka berdua. Kadang kami malah ikut memprovokasi mereka supaya lebih nakal lagi supaya pria-pria itu makin blingsatan. Terutama si Yoshi itu…” Ujar Paulin terkekeh. Dengan bersemangat dia melanjutkan. “Menyenangkan sekali melihat bagaimana reaksi pria ketika ‘mupeng’. Lama kelamaan kami semua terpancing juga untuk tampil seksi seperti Lisa dan Susan itu.”
Apa? Istriku juga ikut-ikutan tampil seksi? Sepertinya aku salah dengar. “Sayang, bukankah selama ini kulihat penampilanmu sewajarnya saja kalau berangkat kerja?” Tanyaku lugu.
Paulin tertawa. “Ya kalo dari rumah udah seksi gimana di jalan nanti?” Jawabnya.
Ya, istriku memang sederhana. Itu salah satu dari banyak kelebihan yang membuat aku jatuh cinta padanya. Dia lebih suka berangkat kantor menggunakan taksi ketimbang menyetir mobil sendiri. Waktu kutawarkan untuk memperkerjakan seorang sopir, dia juga menolaknya. Bahkan waktu awal-awal Bus TransJakarta beroperasi, semangat sekali dia ingin mencobanya. Sampai sekarang dia juga terkadang masih suka menggunakan Bus umum itu.
“Kami tampil bitchy ya hanya di kantor saja mas… Jadi kamu nggak usah khawatir, semua itu hanya untuk suasana di kantor saja. Aku tentu nggak berani sembarangan juga di luar.” Lanjut Paulin. Aku tak tahu bagaimana logikanya bahwa aku nggak perlu khawatir bahwa dia tampil nakal hanya di kantornya saja. Tapi toh aku mencoba untuk bersikap biasa saja.
“Kami bersenang-senang dengan itu. Terkadang kami pamer-pamer sedikit untuk memanaskan suasana…” Lanjut Paulin. Matanya berbinar ketika mengucapkannya.
“Pa… Pamer gimana maksudmu??” Tanyaku.
“Yaah, kamu tahulah… Pamer tubuh sedikit dengan menyingkap paha atau sekedar belahan dada. Lisa itu yang paling berani. Dia bahkan pernah mengekspos payudaranya ketika salah satu karyawan pria berhasil meremasnya. Dia pura-pura kesal dan membuka dadanya, ‘apa-apaan sih gini aja pada penasaran, nih aku kasih semuanya!’ Paulin mencoba menirukan kata-kata Lisa.
“Gila, berani sekali dia menantang-nantang begitu. Semua karyawan pria di situ jelas kegirangan dan kami para wanita juga tanpa sadar turut mengelu-elukannya. Dada Lisa memang paling montok di antara kami. Dan jelas sekali Lisa bangga dan menikmatinya… Menjadi pusat perhatian dan dikagumi seperti itu.” Jelas Paulin melanjutkan.
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tanyaku penasaran.
Paulin tertawa. “Yah, ketika pria itu hendak meremasnya lagi Lisa buru-buru menghindar sambil menutup kembali dadanya. Begitulah… jadi semua itu hanya bercanda saja…” Jawabnya terkekeh.
Aku pun manggut-manggut tanda mengerti. “Ooh begitu…” Gumamku. “Tapi kamu nggak pernah melakukan hal serupa kan…?” Tanyaku menyelidik lebih lanjut. Aku seperti lupa dengan kenyataan bahwa bahkan Paulin sudah melakukan yang lebih dari itu, ya meniduri Yoshi itu!
Paulin terdiam sejenak. “Aku tak pernah sengaja melakukannya…” Jawabnya pelan.
Aku terhenyak. Itu artinya dia sudah pernah mengekspos payudaranya juga! Kecemburuanku mulai memuncak, namun seiring dengan itu ereksiku juga makin mengeras hingga maksimal. Sial. Gara-gara itu aku jadi tidak tahu bagaimana musti bersikap. Melihatku diam Paulin pun melanjutkan.
“Suatu ketika Yoshi pura-pura menumpahkan kopi di bajuku sehingga aku harus melepaskannya. Yoshi minta maaf dan meminjamkan ruangannya yang tertutup untukku berganti pakaian. Tapi aku tak bawa baju ganti, kubilang aku akan mengangin-anginkan pakaianku sejenak supaya agak kering sedikit saja. Jadi aku akan meminjam ruangannya agak lama. Ya sudah, aku kemudian telanjang dada di ruangan Yoshi sambil mengangin-anginkan bajuku. Aku benar-benar mengira bahwa pintu ruangan itu terkunci karna memang aku sendiri yang menguncinya. Tapi ternyata Yoshi punya kunci serep dan tiba-tiba saja dia membuka pintu dari luar. Aku kaget setengah mati karena ternyata semua teman kantorku, pria dan wanita, sudah ada di balik pintu. Semuanya tertawa dan berteriak-teriak menyorakiku sambil bertepuktangan. Aku langsung menutup dadaku dengan tangan. Duh… malu banget saat itu, dasar si Yoshi sialan, semua itu hanya akal bulusnya saja untuk melihatku telanjang!” Muka Paulin dicemberut-cemberutkan supaya terlihat kesal. Namun aku tahu bahwa dia sama sekali tidak merasa kesal. Yah seperti Lisa, kemungkinan besar Paulin menikmatinya juga.
“Akhirnya Yoshi masuk dan mengunci pintu dari dalam. Semua karyawan pria bersorak-sorak dari luar. Sebal sekali rasanya saat itu. Cengengesan aja Yoshi itu sudah mengerjaiku seperti itu. Ternyata dia ada pakaian ganti dan menyerahkannya padaku. Entah pakaian siapa itu dan kenapa dia menyimpannya, yang jelas aku langsung saja menerimanya karna pakaianku tentu tidak akan cepat keringnya. Tapi di situ aku jadi sulit mengelak juga dari tangannya yang nakal…”
“Yah, dia berhasil mencuri-curi kesempatan untuk meremas dada telanjangku setidaknya 2 atau 3 kali sebelum aku benar-benar bisa mengenakan pakaian yang diberikannya.” Lanjut Paulin sambil tetap memasang muka sok cemberutnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mungkin seharusnya aku marah, tapi yang ada malah aku makin susah mengendalikan ereksiku. Sialnya, Paulin menyadari hal itu. Tangannya meraih selangkanganku dan meremasnya. Malu sekali aku karenanya. Paulin tersenyum nakal, “Duh mas ini genit deh… suka ya istrinya dikerjain orang begitu?” Godanya. “Sini dikeluarin, ga kasihan apa sama adek kecilnya, sempit begitu…” Ucapnya genit. Aku makin tersipu. Kutepis tangannya yang hendak membuka retsleting celanaku.
“Bukannya harusnya kamu pake bra saat itu???” Tanyaku gusar.
Mendengar pertanyaanku lagi-lagi Paulin malah tertawa tersipu, “Nah itu mas… Saat itu aku memang pas sengaja tidak memakainya. Itu juga dalam rangka tampil seksi menggoda teman-teman priaku...”
“Yah mungkin itu hukuman buatku. Sekalinya tampil berani nekat dengan tanpa BH seperti itu, eh akhirnya malah aku harus memperlihatkan semuanya pada teman-teman priaku.” Jelasnya sambil tertawa. Aku begitu terkesima mendengarnya. Bosnya mengerjainya seperti itu dan menganggapnya lelucon, dan ternyata Paulin pun menganggapnya sama. Semua hanya lelucon baginya, dan jelas sekali dia menikmatinya. Pikiranku berkecamuk sehingga lengah. Begitu kusadari, Paulin sudah berhasil mengeluarkan batang penisku dari balik celanaku. Dia terpekik girang seperti baru pertama kali melihat penis saja.
“Duh kasihan banget udah keras begini…” Godanya sambil melirikku nakal. Sial, malu sekali aku saat itu. Wajahku mungkin terlihat sangat memerah seperti kepiting rebus. Ah… Kenapa juga aku harus malu dengan istriku sendiri? Perasaanku benar-benar campur aduk.
Paulin mulai mengocok penisku pelan sambil tersenyum dan melirikku nakal. Tanpa mengatakan apa-apa aku sudah bisa mengerti apa maunya. Aku mengangguk dan Paulin pun beringsut turun dan berlutut di depanku…sore itu kami bercinta dengan hebat
##################################
Sumber : Blog Tetangga
Aku terjaga setelah mendengar pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat ini akan mendarat di Bandara Narita Tokyo. Kulongok keluar jendela. Cuaca begitu cerah. Entah jam berapa sekarang di Jepang, tapi kupikir sudah hampir sore. Istriku masih tampak terlelap. Aku enggan membangunkannya. Nanti sajalah kalau pesawat sudah benar-benar mendarat. Sepanjang perjalanan kami lebih sering diam atau tidur. Bisa dikatakan ini bukanlah masa-masa paling romantis dalam kehidupan rumah tangga kami. Namaku Wawan. Bulan depan usiaku genap 32 tahun. Wanita cantik yang terlelap di sampingku ini adalah Paulin istriku. Ya, dia begitu cantik, kalau tidak boleh dikatakan sempurna. Semua ciri standar kecantikan wanita yang hampir disepakati semua pria manapun di dunia ini ada pada istriku. Kulit yang putih mulus tanpa noda, tubuh yang langsing namun tidak ceking, rambut lurus yang panjang terurai, hidung yang mancung, alis tebal, leher jenjang, pokoknya semuanya. You name it… Tinggi badan yang 167 cm sangat pas dan sempurna buatku yang tingginya hanya 173 cm. Begitu juga dengan bentuk payudaranya yang besar alami. Tidak terlalu besar tentu saja. Bentuknya pas dan sempurna seakan ditatah dengan sangat hati-hati oleh penciptanya. Yah, bagian tubuh yang satu itu memang favoritku. Dan lagi, Paulin masih sangat muda. Usiaku dengannya terpaut cukup jauh. Baru 2 bulan yang lalu dia berulangtahun yang ke 24. Masih sangat muda dibanding karirnya yang begitu cemerlang. Yah, sebenarnya karirnya itulah yang kini menjadi ganjalan dalam hatiku. Semenjak dipecat 2 tahun lalu hingga kini aku tidak bekerja, sementara sebaliknya karir Paulin sedang menanjak naik. Walhasil selama 2 tahun ini dialah yang membuat ‘dapur rumahku tetap mengepul’. Sebenarnya Paulin sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja ada semacam perasaan ‘kalah’ di dalam hatiku sebagai laki-laki. Kedatangan kami ke Jepang ini sendiri adalah dalam rangka lonjakan karirnya. Dia dipercaya bosnya yang asli Jepang untuk mengelola perusahaan barunya di Tokyo. Walhasil diriku ini seperti suami yang ‘nunut’ istri saja.
Pesawat kami sudah mendarat di Narita. Benar-benar kagum aku melihat bandara yang sangat besar, jauh lebih besar dari bandara di Jakarta yang tadinya juga sempat kukagumi karena besarnya, tapi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding bandara di ibukota Jepang ini. Diam-diam terselip lagi perasaan iri terhadap istriku yang akan segera meniti karir di Negara yang sangat maju ini. Tak ada orang yang menjemput kami, tapi dengan pede Paulin sudah tahu harus kemana hanya dengan melihat catatan kecil yang diberi bosnya. Paulin sedikit menguasai percakapan dalam bahasa Jepang, jadi ketika ada sedikit kebingungan dengan luwes dia bertanya pada petugas atau orang lain di sekitar situ. Kami tidak naik taksi melainkan kereta untuk menuju tujuan berikut yang ternyata cukup jauh juga dari bandara. Bahkan karena lamanya perjalanan, kami melewati terbenamnya matahari di dalam kereta itu. Barulah saat sampai di stasiun yang aku tak sempat mengetahui namanya, kami segera menyambung lagi dengan taksi menuju tempat singgah sementara kami di Tokyo. Saat itu hari sudah agak malam. Tempat singgah kami malam ini adalah rumah dari kerabat bos Paulin. Kami akan menginap 1 malam di sana dan besok baru akan mulai menempati tempat tinggal baru yang entah dimana. Agaknya semua sudah dipersiapkan oleh bos Paulin. Rumah ini sangatlah besar dan luas. Aku sempat canggung ketika memasukinya. Akan tetapi orang-orang di situ tampak begitu ramah. Lebih ramah dibanding dengan orang Indonesia kurasa. Yang menemui kami hanya 2 orang laki-laki dan perempuan yang tampak sudah berumur. Entah mereka itu siapanya bos Paulin, atau apakah mereka pasangan suami istri atau bukan, aku tidak tahu dan tidak terlalu ambil pusing. Istriku bercakap2 sebentar dengan mereka, entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi Paulin yang supel tampak langsung akrab dengan mereka. Tak lama kemudian mereka memanggil pelayan untuk mengantar kami ke kamar yang telah disediakan. Pelayan perempuan setengah baya itu tampak begitu cantik dengan kimono yang dipakainya. Dia juga tampak begitu sopan dan penurut. Sering menunduk, tidak pernah menatap langsung, dan juga tidak banyak bicara. Paulin sempat mencubit aku yang berkali-kali mencuri pandang pada pelayan itu. Dengan ‘ndeso’nya aku berpikir, “Secantik itu di sini hanya jadi pelayan, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang iklan dia…”
Rumah yang begitu besar itu tampak sunyi. Tak kulihat penghuni lain selain 2 orang yang menerima kami tadi, pelayan ini, serta pelayan lain yang tadi membukakan pintu untuk kami. Sesampai di kamar, Paulin menanyakan sesuatu pada pelayan itu, kemudian pelayan itu menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk tempat di dalam kamar. Entah apa yang ditanyakannya. Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan tempat tidur, dengan masih mengenakan piyama mandinya, Paulin sudah membuka-buka laptopnya dan mencoba mengakses internet. Agaknya dia ingin segera mengabari teman-teman terdekatnya. Aku sendiri mulai berbaring. Terasa lemas badan ini. Mataku menerawang menatap langit-langit. Tak ada yang kulamunkan, pikiranku kosong saat itu. Entah berapa lama aku begitu, atau mungkin aku sempat tertidur tanpa sadar, yang jelas tahu-tahu kudapati Paulin sudah berbaring di sebelahku, memelukku dan merebahkan kepalanya di pundakku sambil menggumam manja. Kucium wangi rambutnya, dan aku pun balas mendekapnya. Kami kemudian saling bertatapan tanpa bicara. Entah kenapa aku merasa canggung dan kagok dengan istriku sendiri itu. Mungkin karena sikap diamku sejak keberangkatan kami hingga sekarang ini.
“Mas…” gumam Paulin pelan.
“Yaa…?” Jawabku.
Paulin terdiam. Agaknya dia juga bingung merangkai kata-kata. Dibelainya pipiku lembut. Jempolnya kemudian menarik ujung bibirku seakan memaksaku tersenyum.
“Mas kok kayaknya cemberut aja dari tadi…?” Tanyanya gusar.
Aku menghela napas. “Masa sih…? Aku gapapa kok…” Jawabku.
“Yah yang jelas raut muka mas itu loh… kayaknya gak bersemangat banget.” Ucapnya lagi.
“Yah… Gak tau deh, namanya juga baru pindah di tempat baru yang jauh dan asing banget… biasalah…” Jawabku.
Paulin tersenyum manis. “Gak marah kan?” Tanyanya manja.
“Ya gaklah… kenapa harus marah…?” Sahutku.
“Soal pesta itu…” Istriku tidak meneruskan kalimatnya. Wajahnya kini terlihat sayu.
Aku gantian membelai pipi lembutnya, “Udah ga usah diungkit-ungkit lagi sayang…” jawabku.
Paulin pun tersenyum lagi. Pelukannya bertambah erat, kepalanya beringsut direbahkan di atas dadaku. Kucium rambutnya dengan perasaan sayang, pelukanku juga kueratkan, mataku kembali menerawang.
“Kita pasti bahagia di sini mas… Kamu pasti betah. Jepang Negara yang menyenangkan…” Ucap Paulin tanpa menatap kembali ke arahku. Aku diam tak menjawab. “Kalau ternyata tidak berhasil, kita bisa kembali kapan saja…” Lanjutnya.
“Ssst…” Sahutku pelan.
“Kita baru sampai, jangan bicara yang nggak-nggak…” Lanjutku menenangkan.
Paulin tidak menjawab lagi. Mungkin dia sudah mencoba untuk tidur. Dan aku pun kembali menerawang sambil membelai-belai rambutnya. Teringat tadi saat di dalam taksi Paulin sempat menanyakan hal yang sama, yaitu soal diamnya aku. Dia menanyakan apakah aku marah tentang ‘pesta itu’. Walau tadi sudah kujawab bahwa aku tidak marah sejak awal, tapi rasanya sikap diamku yang berlanjut masih membuatnya penasaran. Diamku ini memang bukan ngambek gara-gara ‘pesta itu’. Walau bukan berarti juga ‘pesta itu’ tak kupikirkan sama sekali, bahkan kini aku pun kembali terngiang-ngiang mengingatnya. Yaitu pesta malam perpisahan istriku dengan rekan-rekan kantornya di Indonesia. Masih detail kuingat dalam kepalaku bagaimana keseluruhan pesta itu berlangsung.
#################################
Flashback…
Yah, peristiwa itu masih tetap terbayang secara detil di dalam benakku. Bahkan, ingatanku pun jadi menerawang lebih mundur lagi ke beberapa hari sebelum pesta perpisahan itu. Yah, kalau diceritakan memang harus bermula dari situ. Yaitu peristiwa perselingkuhan Paulin dengan bosnya. Ya. Perselingkuhan. Sulit untuk dipercaya aku mendapati Paulin berselingkuh. Paulin dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga dengan kultur Jawa yang kental. Kakeknya memang orang Jerman, jadi sedikit banyak istriku itu blasteran Jawa dan Jerman. Tapi dia lahir di Jawa, bapak ibunya juga lahir di Jawa dan dia pun dibesarkan dengan didikan kultur Jawa. Saat berpacaran, kami juga tidak pernah melakukan seks bebas. Keperawanannya baru kucicipi saat malam pertama pernikahan kami. Bisa dibayangkan betapa istimewanya saat itu bagiku. Pernikahanku yang berjalan 5 tahun lebih, nyaris tanpa prahara. Kehidupan kami sangat bahagia meskipun kami belum juga dikaruniai momongan. Setelah diselidiki lebih lanjut, ketahuanlah bahwa ternyata benihkulah yang kurang ‘unggul’ dan sangat lemah. Walau tidak sampai dicap mandul, perasaanku sangat hancur saat itu. Dokter menasehati supaya berusaha lebih keras, bersabar dan berdoa. Dokter juga menyarankan banyak menu2 makanan yang baiknya kukonsumsi. Paulin sendiri sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. Dengan penuh pengertian dia senantiasa menghiburku. Begitu juga saat aku di-PHK oleh perusahaan. Paulin juga menenangkanku dengan mengatakan bahwa penghasilannya saja sudah cukup untuk menghidupi kami berdua. Saat aku mulai frustasi karna tak juga segera mendapat pekerjaan, istriku mengatakan untuk tidak terlalu ‘ngoyo’ dan terbebani, Dia bahkan menyarankanku untuk beristirahat saja. Sebagai laki-laki aku jelas merasa harga diriku jatuh di mata istriku. Aku benar-benar merasa seperti pecundang. Namun Paulin selalu menunjukkan sikap untuk meyakinkanku bahwa dirinya tidak pernah mengeluh dengan keadaanku. Begitulah istriku yang teramat istimewa bagiku. Itulah mengapa aku seakan tidak percaya ketika mengetahui tentang perselingkuhannya. Barangkali aku terlalu naif, karena kecantikan Paulin tentu memikat banyak rekan-rekan prianya. Saat itu kuingat Paulin menangis memohon ampun. Dapat kulihat betapa besar penyesalannya. Padahal entah kenapa, aku sendiri sama sekali tidak meledak marah saat itu. Ya, aku lebih banyak terdiam seribu bahasa. Aku seakan bingung bagaimana harus bersikap meski perasaanku begitu hancur. Aku teramat menyayangi istriku. Tidak tega rasanya memarahi dirinya. Melihatnya menangis saja sudah membuat hatiku trenyuh dan luluh. Terlebih aku menyadari betapa peranku yang sangat kecil dibanding Paulin dalam membangun rumah tangga kami. Aku benar-benar merasa tidak berarti saat itu. Rasa-rasanya aku tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kupeluk dan kubelai rambutnya untuk menunjukkan bahwa aku memaafkannya. Tangisnya pun berangsur reda. Paulin membalas pelukanku dengan erat. Aku pun makin luluh. Malam itu kami tidur berpelukan seakan tidak terjadi apapun.
Perusahaan tempat Paulin bekerja bergerak di bidang periklanan dan multimedia. Dia sering bercerita bahwa suasana di kantornya sangat menyenangkan dan jauh dari suasana formal. Mungkin memang begitu harusnya sebuah industri yang erat kaitannya dengan seni dan kreatifitas itu. Hubungan antar karyawan, dan bahkan dengan bos sekalipun sangat cair dan akrab. Canda dan tawa sudah biasa untuk menghilangkan kepenatan dalam bekerja. Kebebasan seperti itulah yang membuat Paulin sangat menikmati perjalanan karirnya. Keesokan harinya, dalam suasana santai istriku membuka percakapan mengenai perselingkuhannya. Sungguh tak kuduga-duga dia akan menyinggung hal itu. Padahal aku sendiri ingin membuang jauh-jauh ingatan itu dan menganggapnya tak pernah terjadi. Tapi kini istriku sendirilah yang malah mengungkitnya. Yang mengherankan, mimiknya terlihat santai seolah hendak membicarakan sesuatu yang biasa saja.
“Mas… mengenai semalam… Mas bener-bener nggak marah kan?” Tanyanya.
Aku menghela napas tanpa menjawab. Kuperlihatkan raut muka ketus supaya ia paham bahwa aku sama sekali tak ingin membicarakan hal itu. Meskipun tampak menyadarinya, ternyata Paulin tak bergeming.
“Yoshi memang mata keranjang dan sudah lama dia mengincar aku…” Lanjut Paulin.
Yoshi adalah nama bosnya yang asli Jepang. Begitulah, memanggil bosnya saja langsung dengan namanya tanpa embel-embel “pak”. Aku makin bersungut-sungut membayangkan bagaimana keakraban di antara mereka.
“Sebelum aku lanjutin, mas perlu tahu bahwa aku sama sekali gak mengkhianati mas, aku gak mengkhianati pernikahan kita. Aku tetep cinta mas sepenuh hati…” Ujar Paulin.
“Lin, hal itu gak usah diungkit-ungkit lagi… ok?” Akhirnya aku menanggapinya.
“Nggak mas, justru aku ingin membicarakannya…” Sahut Paulin tegas. Aku agak terkejut mendengarnya. Entah apa maunya istriku ini.
“Aku nggak tahu kenapa mas nggak marah. Bukan berarti aku ingin mas marah, lagipula memang tidak seharusnya mas marah… Hanya saja normalnya tiap suami mustinya marah kalo istrinya selingkuh.” Jelas Paulin mbulet. Aku tertegun mendengarnya.
“Maksudmu apa sih?” Tanyaku gusar.
“Aku takut mas nggak marah tapi memendam dendam di hati.” Jawab Paulin.
“Bukan begitu, aku justru ingin melupakannya. Sudah. Itu sudah berlalu… Aku akan menganggapnya tidak pernah terjadi.” Jawabku.
“Tapi itu kan terjadi mas. Hanya karena mas gak mau membicarakannya bukan berarti hal itu tidak pernah terjadi…” Sahut Paulin. Nadanya meninggi.
“Lalu maumu bagaimana…?” Aku semakin gusar.
“Pertama aku ingin mas percaya bahwa secuil pun rasa cintaku pada mas gak hilang. Dan bahwa aku ingin terus hidup bersama mas sampai akhir hayat… Aku ingin mas tidak meragukannya.” Paulin menunjukkan raut serius. Aku manggut-manggut saja tanpa menjawab.
“Please, aku ingin mas yakin itu…” Lanjut Paulin mendesak.
“Sayang…. Aku mempercayainya sebesar aku ingin mempercayainya. Aku juga nggak ingin kehilangan kamu… Laki-laki bodoh mana yang mau melepas istri sebaik dan secantik kamu…” Aku mencoba meyakinkan istriku. “Aku tahu pasti bukan hanya bosmu aja kan yang ngincer kamu? Temen-temen kantor kamu juga pastilah menginginkan kamu.” Lanjutku. “Aku ingat bagaimana aku dulu begitu tergila-gila sama kamu. Aku masih ingat karna sampai sekarang pun aku masih tergila-gila sama kamu…” Aku memungkasi. Kuharap Paulin bisa tenang dengan kata-kataku yang jujur itu. Benarlah, wajahnya memerah. Dia pun tersenyum dan mengecup pipiku lembut. “Makasih mas…” bisiknya.
“Sebagai wanita aku juga seneng dan bangga ditaksir banyak laki-laki…” Ucapnya kemudian.
“Dasar perempuan, seneng banget ya jadi pusat perhatian…?” Godaku ketus.
“Iyalah… Udah naluri…” Jawab Paulin tertawa kecil.
“Tapi bukan berarti kamu bisa jatuh ke pelukan laki-laki lain dong… kamu kan udah punya aku.” Sindirku.
Paulin tersenyum. Dia menatapku kemudian mencubit hidungku gemas. “Nah… kepikiran juga kan…?” Godanya.
“Temen-temen di kantorku itu gila semua mas… Kamu kan udah sering kuceritai tentang suasana di kantorku yang sangat cair…?” Lanjutnya.
“Yang namanya cowok kalo lihat yang bening dikit aja udah blingsatan. Trus jadi nakal, suka menggoda-goda cari perhatian… Kadang sampe ganggu banget…” Paulin terus nyerocos.
“Tapi pria-pria di kantorku itu jauh lebih gila lagi. Lebih nakal lagi… Parah deh pokoknya!” Istriku terus bercerita dengan semangat. Kalau sudah begini biasanya aku akan jadi pendengar yang baik. Paulin pun melanjutkan, “Kalau cowok lain paling cuma suit-suit atau merayu-rayu dengan konyol. Tapi pria di kantorku udah kebangetan deh pornonya…”
Terhenyak aku mendengar istriku mengucap kata ‘porno’.
“Yaah kita biasa bercanda gitu di kantor. Tahulah…” Lanjut Paulin.
“Ya kamu kan udah biasa cerita itu…” Jawabku gusar.
“Ya tapi aku belum pernah cerita bercandanya kayak gimana kan?” Sahut Paulin. Aku terdiam. “Yah awal-awal sih bercanda biasa aja. Sedikit menggoda kukira wajar. Tapi lama-kelamaan seiring dengan makin akrabnya kita, mereka udah pada berani main tangan. Colek-colek gitu deh… bahkan remas pantat itu udah biasa banget. Makanan sehari-hari!” Lanjutnya. Aku tertegun mendengarnya. Rekan kerja pria Paulin biasa meremas pantatnya? Pikiranku cukup terusik. Perhatianku pun mulai tertarik kepada cerita Paulin.
“Di kantorku yang cewek kan bukan hanya aku aja mas. Selain aku ada 4 orang lagi. Yenni dan Susan kamu udah kenal kan? Lainnya ada Lisa sama Ai…” Lanjut Paulin.
Aku mengangguk. Yenni dan Susan yang disebut Paulin sudah beberapa kali datang ke rumah sehingga aku mengenal mereka. “Hmmm, si Lisa sama Ai itu apa juga secantik Jenni dan Susan?” Selidikku.
Paulin tertawa kecil. Dicubitnya pinggangku. “Nah itu mas, kami berlima semuanya cantik-cantik! Kayaknya si Yoshi emang sengaja memperkerjakan cewek cantik saja… Udah kubilang kan dia kayak gimana. Nah di antara para pria itu, yang paling parah ya si Yoshi itu!” Jawab Paulin bersemangat. Heran aku melihatnya. Dia menceritakan kenakalan teman-teman pria di kantornya tapi bukan dengan nada sewot melainkan dengan nada riang. Aku cukup terusik dengan kenyataan itu. Tapi entah kenapa aku sendiri juga ingin mendengarkan lebih lanjut.
“Lebih parah gimana maksudmu…?” Tanyaku.
“Yaah, namanya juga bos, dia yang paling berani… Kita lengah dikit aja deh, dada kita langsung diremasnya!” Jelas Paulin berbinar. Aku jelas terkejut mendengarnya.
“Haah dia suka mencuri-curi meremas dada begitu??” Tanyaku gusar.
“Iya mas. Bahkan dia suka memprovokasi karyawan cowok lainnya. Kalo udah berhasil meremas dada dia suka memamerkan kemenangannya dan mengejek mereka. Kalo yang lain kan hanya berani remas pantat, nah dia menantang keberanian yang lain untuk melakukan hal yang sama kayak dia.” Jelas Paulin.
“Sayang… Bukankah itu pelecehan namanya? Kalian harusnya bisa melaporkannya kan…?” Aku makin gusar.
Mendengar pertanyaanku yang lugu itu Paulin tertawa. “Yaah ga perlu sampe gitu lah mas… Semuanya kan hanya dalam rangka bercanda saja. Itu gambaran suasana di kantorku yang bebas dan akrab berbeda dengan kantor-kantor lainnya. Yah, hampir semua karyawan kantorku itu kan seniman. Total yang kerja di situ hanya 13 orang. 9 pria dan 5 wanita. Dan itu sudah 3 tahun tidak berganti. Tak ada yang keluar, dan nggak ada juga orang baru yang masuk. Ya kita jadi akrab dan saling mengenal satu sama lain dengan baik.” Paulin menjelaskan panjang lebar. Walau begitu masih sukar bagiku untuk mempercayainya.
“Yang jelas itu suasana di kantorku sehari-hari. Itu kultur kerjaku. Bercandanya ya begitu itu. Kalopun hanya obrolan, seringkali obrolannya menjurus ke hal-hal yang cabul. Tentu nggak langsung begitu pada awalnya. Semua itu setelah kami sudah sangat akrab. Aku nggak tahu gimana menjelaskannya padamu, mungkin kamu harus melihat atau mengalaminya sendiri supaya paham. Yang jelas itu bukan hal yang membuat kami para wanita risih…” Paulin meneruskan ceritanya.
Aku terus mendengarkannya dengan seksama dan gilanya tanpa kusadari penisku mulai mengalami ereksi. Damn! Aku sendiri tak percaya dan seakan ingin marah pada diriku sendiri. Aku pun menyilangkan kaki supaya Paulin tidak menyadarinya.
“Kami para wanita menyadari bahwa Yoshi itu memperkerjakan kami karna memilih kecantikan kami. Dan kami juga sadar sehari-harinya kami jadi objek pemanis di kantor. Yah, apalagi dengan ditambahi semua godaan-godaan dan obrolan-obrolan cabul itu, semua itu justru kadang membuat kami ge-er dan yaahh… kamu tahulah, kami sedikit bangga karenanya…” Sambil mengatakan itu Paulin melirik mataku, ingin mengetahui bagaimana reaksiku mendengarnya.
Tapi aku sendiri nyaris tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Mungkin karena sibuk menyembunyikan ereksiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bersikap begitu. Wanita cantik yang duduk di sampingku ini istriku sendiri. Milikku. Harusnya tidak aneh jika aku yang sedang ereksi ini langsung menubruk dan menggaulinya saat ini juga. Tapi aku malah memilih mendengarkan ceritanya lebih lanjut.
“Kami sudah terbiasa dengan suasana itu dan kurasa memang begitulah sewajarnya reaksi pria manapun terhadap wanita cantik. Si Lisa sama Susan yang belum menikah malah mengawali dengan berani bersikap bitchy loh… Mereka memang nekat. Dari cara bicaranya sampai pakaiannya semuanya ‘mengundang’. Awalnya, aku, Yenni, dan Ai tertawa saja dengan tingkah mereka berdua. Kadang kami malah ikut memprovokasi mereka supaya lebih nakal lagi supaya pria-pria itu makin blingsatan. Terutama si Yoshi itu…” Ujar Paulin terkekeh. Dengan bersemangat dia melanjutkan. “Menyenangkan sekali melihat bagaimana reaksi pria ketika ‘mupeng’. Lama kelamaan kami semua terpancing juga untuk tampil seksi seperti Lisa dan Susan itu.”
Apa? Istriku juga ikut-ikutan tampil seksi? Sepertinya aku salah dengar. “Sayang, bukankah selama ini kulihat penampilanmu sewajarnya saja kalau berangkat kerja?” Tanyaku lugu.
Paulin tertawa. “Ya kalo dari rumah udah seksi gimana di jalan nanti?” Jawabnya.
Ya, istriku memang sederhana. Itu salah satu dari banyak kelebihan yang membuat aku jatuh cinta padanya. Dia lebih suka berangkat kantor menggunakan taksi ketimbang menyetir mobil sendiri. Waktu kutawarkan untuk memperkerjakan seorang sopir, dia juga menolaknya. Bahkan waktu awal-awal Bus TransJakarta beroperasi, semangat sekali dia ingin mencobanya. Sampai sekarang dia juga terkadang masih suka menggunakan Bus umum itu.
“Kami tampil bitchy ya hanya di kantor saja mas… Jadi kamu nggak usah khawatir, semua itu hanya untuk suasana di kantor saja. Aku tentu nggak berani sembarangan juga di luar.” Lanjut Paulin. Aku tak tahu bagaimana logikanya bahwa aku nggak perlu khawatir bahwa dia tampil nakal hanya di kantornya saja. Tapi toh aku mencoba untuk bersikap biasa saja.
“Kami bersenang-senang dengan itu. Terkadang kami pamer-pamer sedikit untuk memanaskan suasana…” Lanjut Paulin. Matanya berbinar ketika mengucapkannya.
“Pa… Pamer gimana maksudmu??” Tanyaku.
“Yaah, kamu tahulah… Pamer tubuh sedikit dengan menyingkap paha atau sekedar belahan dada. Lisa itu yang paling berani. Dia bahkan pernah mengekspos payudaranya ketika salah satu karyawan pria berhasil meremasnya. Dia pura-pura kesal dan membuka dadanya, ‘apa-apaan sih gini aja pada penasaran, nih aku kasih semuanya!’ Paulin mencoba menirukan kata-kata Lisa.
“Gila, berani sekali dia menantang-nantang begitu. Semua karyawan pria di situ jelas kegirangan dan kami para wanita juga tanpa sadar turut mengelu-elukannya. Dada Lisa memang paling montok di antara kami. Dan jelas sekali Lisa bangga dan menikmatinya… Menjadi pusat perhatian dan dikagumi seperti itu.” Jelas Paulin melanjutkan.
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tanyaku penasaran.
Paulin tertawa. “Yah, ketika pria itu hendak meremasnya lagi Lisa buru-buru menghindar sambil menutup kembali dadanya. Begitulah… jadi semua itu hanya bercanda saja…” Jawabnya terkekeh.
Aku pun manggut-manggut tanda mengerti. “Ooh begitu…” Gumamku. “Tapi kamu nggak pernah melakukan hal serupa kan…?” Tanyaku menyelidik lebih lanjut. Aku seperti lupa dengan kenyataan bahwa bahkan Paulin sudah melakukan yang lebih dari itu, ya meniduri Yoshi itu!
Paulin terdiam sejenak. “Aku tak pernah sengaja melakukannya…” Jawabnya pelan.
Aku terhenyak. Itu artinya dia sudah pernah mengekspos payudaranya juga! Kecemburuanku mulai memuncak, namun seiring dengan itu ereksiku juga makin mengeras hingga maksimal. Sial. Gara-gara itu aku jadi tidak tahu bagaimana musti bersikap. Melihatku diam Paulin pun melanjutkan.
“Suatu ketika Yoshi pura-pura menumpahkan kopi di bajuku sehingga aku harus melepaskannya. Yoshi minta maaf dan meminjamkan ruangannya yang tertutup untukku berganti pakaian. Tapi aku tak bawa baju ganti, kubilang aku akan mengangin-anginkan pakaianku sejenak supaya agak kering sedikit saja. Jadi aku akan meminjam ruangannya agak lama. Ya sudah, aku kemudian telanjang dada di ruangan Yoshi sambil mengangin-anginkan bajuku. Aku benar-benar mengira bahwa pintu ruangan itu terkunci karna memang aku sendiri yang menguncinya. Tapi ternyata Yoshi punya kunci serep dan tiba-tiba saja dia membuka pintu dari luar. Aku kaget setengah mati karena ternyata semua teman kantorku, pria dan wanita, sudah ada di balik pintu. Semuanya tertawa dan berteriak-teriak menyorakiku sambil bertepuktangan. Aku langsung menutup dadaku dengan tangan. Duh… malu banget saat itu, dasar si Yoshi sialan, semua itu hanya akal bulusnya saja untuk melihatku telanjang!” Muka Paulin dicemberut-cemberutkan supaya terlihat kesal. Namun aku tahu bahwa dia sama sekali tidak merasa kesal. Yah seperti Lisa, kemungkinan besar Paulin menikmatinya juga.
“Akhirnya Yoshi masuk dan mengunci pintu dari dalam. Semua karyawan pria bersorak-sorak dari luar. Sebal sekali rasanya saat itu. Cengengesan aja Yoshi itu sudah mengerjaiku seperti itu. Ternyata dia ada pakaian ganti dan menyerahkannya padaku. Entah pakaian siapa itu dan kenapa dia menyimpannya, yang jelas aku langsung saja menerimanya karna pakaianku tentu tidak akan cepat keringnya. Tapi di situ aku jadi sulit mengelak juga dari tangannya yang nakal…”
“Yah, dia berhasil mencuri-curi kesempatan untuk meremas dada telanjangku setidaknya 2 atau 3 kali sebelum aku benar-benar bisa mengenakan pakaian yang diberikannya.” Lanjut Paulin sambil tetap memasang muka sok cemberutnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mungkin seharusnya aku marah, tapi yang ada malah aku makin susah mengendalikan ereksiku. Sialnya, Paulin menyadari hal itu. Tangannya meraih selangkanganku dan meremasnya. Malu sekali aku karenanya. Paulin tersenyum nakal, “Duh mas ini genit deh… suka ya istrinya dikerjain orang begitu?” Godanya. “Sini dikeluarin, ga kasihan apa sama adek kecilnya, sempit begitu…” Ucapnya genit. Aku makin tersipu. Kutepis tangannya yang hendak membuka retsleting celanaku.
“Bukannya harusnya kamu pake bra saat itu???” Tanyaku gusar.
Mendengar pertanyaanku lagi-lagi Paulin malah tertawa tersipu, “Nah itu mas… Saat itu aku memang pas sengaja tidak memakainya. Itu juga dalam rangka tampil seksi menggoda teman-teman priaku...”
“Yah mungkin itu hukuman buatku. Sekalinya tampil berani nekat dengan tanpa BH seperti itu, eh akhirnya malah aku harus memperlihatkan semuanya pada teman-teman priaku.” Jelasnya sambil tertawa. Aku begitu terkesima mendengarnya. Bosnya mengerjainya seperti itu dan menganggapnya lelucon, dan ternyata Paulin pun menganggapnya sama. Semua hanya lelucon baginya, dan jelas sekali dia menikmatinya. Pikiranku berkecamuk sehingga lengah. Begitu kusadari, Paulin sudah berhasil mengeluarkan batang penisku dari balik celanaku. Dia terpekik girang seperti baru pertama kali melihat penis saja.
“Duh kasihan banget udah keras begini…” Godanya sambil melirikku nakal. Sial, malu sekali aku saat itu. Wajahku mungkin terlihat sangat memerah seperti kepiting rebus. Ah… Kenapa juga aku harus malu dengan istriku sendiri? Perasaanku benar-benar campur aduk.
Paulin mulai mengocok penisku pelan sambil tersenyum dan melirikku nakal. Tanpa mengatakan apa-apa aku sudah bisa mengerti apa maunya. Aku mengangguk dan Paulin pun beringsut turun dan berlutut di depanku…sore itu kami bercinta dengan hebat
##################################
Sumber : Blog Tetangga
Kamis, 01 Mei 2014
Di belakang ibu & suami, aku selingkuh
Kalau kini kuungkapkan kisah kehidupan
asmaraku, itu berarti aku sudah tidak mampu lagi menyimpan rahasia ini seorang
diri. Aku tahu, aku telah bermain api dengan berselingkuh dengan ayah tiriku.
tetapi aku benar-benar telah tenggelam di dalam pesona permainan seks ayah
tiriku.
Semuanya berawal ketika aku kehilangan ayah kandungku pada usia 18 tahun. Ketika itu, roda ekonomi keluarga kami tidak terlalu terguncang, karena Ibu pandai mencari uang. Semasa ayah masih hidup, Ibu sudah menopang ekonomi keluarga dengan bisnis kateringnya. Oleh karena itu, sepeninggal Ayah,Ibu tidak berpikiran untuk mencari penggantinya, lantaran terlalu sibuk mengurusku dan kedua adik laki-lakiku.
Dua tahun berselang setelah kematian Ayah, tiba-tiba kami dikejutkan dengan perkataan Ibu yang mohon restu untuk menikah kembali dengan Pak Juwono(45). Kami memang sudah mengenalnya dengan baik, karena dia sering bertandang kerumah kami. Namun, kami berpikir Pak Juwono hanyalah teman baik Ibu. Sebab Pak Juwono bertamu ke rumah kami seperti halnya tamu-tamu yang lain. Lebih-lebih Ibu juga bersikap biasa-biasa saja. Ibu tidak menunjukkan dalam kondisi tengah jatuh cinta.
Kami semua merestui keinginan Ibu untuk menikah lagi. Pertama, karena usia Ibu masih tergolong muda, 38 tahun, untuk mengarungi hidup ini sendirian. Kedua, karena kami tahu bahwa Pak Juwono berstatus duda tanpa anak. Pak Juwono adalah pria yang matang, penyayang,dan bertanggung jawab. Aku dan kedua adikku sudah cukup dekat dengannya.
Masuknya Pak Juwono sebagai anggota baru keluarga kami memang membawa warna-warna lain dalam kehidupan keluarga kami. Aku pribadi sangat senang dengan adanya figur seorang ayah pengganti. Terus terang, sebagai anak perempuan satu-satunya aku haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Apalagi di usia 20 tahunan aku ingin ada yang menuntunku dalam urusan cinta dan berhubungan dengan pria. Aku harap bisa menimba pengalaman dari ayah tiriku ini.
Kedekatanku dengan ayah tiriku membuat Ibu bangga. Beliau senang melihat kami semua akrab dengan suami barunya. Bahkan, boleh dikatakan aku bersikap agak manja kepadanya. Setiap pulang sekolah, aku pasti segera mencari ayah tiriku untuk menceritakan pengalamanku di kampus. Beliau akan dengan sabar mendengar ceritaku, kemudian dengan bijak menasihatiku bila ada hal-hal yang dianggapnya tidak 'sesuai'.
Kadang-kadang atas ijin Ibu, aku mengajak ayah tiriku berjalan-jalan ke mall. Setelah mencicipi hidangan fast food kami mampir untuk nongkrong di toko buku. Aku mempunyai hobi membaca buku filsafat dan psikologi, sama seperti beliau.
Tanpa kusadari aku semakin dekat dan semakin akrab kepada ayah tiriku, aku sudah semakin cuek aja dan tidak malu lagi semisalnya keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk mandi sebagai penutup bagian-bagian tubuhku yang vital dihadapan ayahku. Dan kadangkala ayahku pula yang menggendongku ke tempat tidurku apabila aku kedapatan ketiduran di ruang tamu karena ketiduran akibat mataku yang kelelahan karena membaca buku ataupun menonton telivisi.
Lama-kelamaan aku semakin mengagumi sifat-sifat kedewasaan yang dimiliki oleh ayah tiriku, dan ada rasa perasaan khusus tertentu yang tidak bisa kuterjemahkan, entahlah apakah itu adalah perasaan cinta? Mungkin itulah alasannya aku selalu menampik setiap pernyataan cinta yang dilontarkan oleh teman-teman priaku. Terus terang aku tidak tertarik dengan teman-teman pria sebayaku yang cenderung manja dan kekanak-kanakan. Sebaliknya aku mengagumi pria-pria yang dewasa dan matang. Rasanya aku betah berada disisi mereka untuk mendengar cerita ataupun nasehat-nasehatnya, dan itu semuanya kudapatkan penuh dari ayah tiriku ini.
Rupanya gejala ini juga dirasakan dan ditangkap oleh ayah tiriku. Kalau sebelum pergi ke suatu tempat, aku biasa mencium pipi Ibu dan Ayah tiriku. Sekarang bila ibu tidak ada, Ayah akan membalas mencium pipiku. Semula aku merasa kaget dan ada sedikit perasaan malu, bukan kenapa-kenapa ini adalah ciuman pertama dari seorang laki-laki kepadaku dan sekaligus adalah ayahku. Bahkan pernah suatu waktu aku terperangah ketika ayah tidak hanya membalas mencium pipiku, melainkan juga bibirku. Melihat wajahku memerah, karena aku belum pernah pacaran, Ayah hanya tersenyum simpul.
Kejadian seperti itu terus berulang ketika ibuku ada di dapur dan kebetulan aku berpamitan mau ke kampus. Dan akupun mulai terbiasa dengan 'pamitan' gaya baru dari ayah tiriku. Semakin lama kami berani melakukannya lebih lama, kami pernah melakukannya selama beberapa menit dengan panasnya. Kalau tidak mengingat Ibu yang ada di dapur yang sewaktu-waktu bisa memergoki mungkin ayahku tidak akan melepaskanku dari pagutannya.
Beberapa waktu berselang, suatu saat Ibu harus menjenguk salah satu keponakannya yang dirawat di rumah sakit di Bogor. Kebetulan kedua adikku telah memasuki masa liburan sekolah dan keduanya mengantar dan menemani ibu selama di Bogor. Alhasil hanya aku dan Ayah tiriku yang ada di rumah sekarang ini. Menyadari tidak ada orang lain, sebenarnya hatiku berdegup kencang menyadari saat-saat yang tidak terduga tinggal berdua saja dengan Ayah tiriku yang amat kukagumi.
Ketika aku pulang kuliah menjelang sore hari, beliau sudah menungguku di teras rumah dan terlihat kegembirannya yang terbias di matanya ketika menyambut kepulanganku.
"Pulangnya kog malam, Non?" tanya ayah dengan senyum khasnya.
Aku menjawab dengan santai, "Tadi jalan-jalan dengan teman Yah. "Senyumnya mendadak agak hilang ketika keceritakan aku berjalan-jalan dengan teman-teman cowok kampusku. Aku tertawa dalam hati melihat sikap ayah tiriku yang terlihat sedikit menyimpan rasa cemburu.
Sehabis mandi seperti biasanya aku tetap hanya menggunakan handuk melalui ayah menuju ke arah kamarku.
"Nia, apakah cowok yang menemani kamu adalah pacar kamu?", selidik ayah tiriku.
"Sebentar ayah, Nia mau berpakaian dulu, dan nanti akan Nia ceritakan seluruhnya ke Ayah", jawabku sambil tetap menuju ke arah kamarku, sepintas kulihat ayahku seperti berdiri dari sofa tempat duduknya. Aku menutup pintu kamar dan mulai mengeringkan rambutku dengan menggunakan kipas angin yang kunyalakan.
Tiba-tiba aku mendengar suara derit pintu kamarku terbuka dan kulihat ayah tiriku berjalan masuk menghampiriku. Karena aku masih terbalut dengan handuk aku cuek saja menerima kehadiran ayah tiriku meskipun sesungguhnya hatiku terasa dag dig dug.
"Aduhh.., ayah nih kog penasaran amat sih, dibilang entar juga pasti diceritain", kataku menggoda sembari tetap mengeringkan rambutku yang masih agak basah.
"Nia, kamu serius yah berpacaran dengan cowo yang tadi itu?", masih dengan penasaran ayahku terus menanyaiku.
"Hmm..., Kalo ya kenapa..., kalo tidak juga kenapa?" tanyaku memancing perasaan ayah tiriku.
"Kamu bandel yahh..., udah main rahasia-rahasiaan" ucapnya seraya tiba-tiba tangannya menggelitik pinggulku.
Aku tergelitik kegelian sambil meronta-ronta
kecil untuk melepaskan dari gelitikan tanggannya. Ayahku tetap menguber-uberku
sambil tetap menggelitik seluruh tubuhku, sampai akhirnya kita berdua jatuh ke
ranjang dan ayah tetap saja menggelitik seluruh badanku. Sampai akhirnya kita
berdua cekakak cekikikan dan akihirnya aku berteriak-teriak kecil minta ampun
supaya Ayah menghentikan gelitikannya. Begitu ayah menghentikan gelitikannya
tubuhku terasa lemas dan kami berdua ngos-ngosan akibat kehabisan nafas. Ayah
tiduran disampingku di atas ranjang sambil tetap memperhatikan wajahku yang
masih bersimbah peluh. Aku mencoba menarik napas panjang sambil memejamkan mata
untuk menghilangkan rasa lemas yang kurasakan.Semuanya berawal ketika aku kehilangan ayah kandungku pada usia 18 tahun. Ketika itu, roda ekonomi keluarga kami tidak terlalu terguncang, karena Ibu pandai mencari uang. Semasa ayah masih hidup, Ibu sudah menopang ekonomi keluarga dengan bisnis kateringnya. Oleh karena itu, sepeninggal Ayah,Ibu tidak berpikiran untuk mencari penggantinya, lantaran terlalu sibuk mengurusku dan kedua adik laki-lakiku.
Dua tahun berselang setelah kematian Ayah, tiba-tiba kami dikejutkan dengan perkataan Ibu yang mohon restu untuk menikah kembali dengan Pak Juwono(45). Kami memang sudah mengenalnya dengan baik, karena dia sering bertandang kerumah kami. Namun, kami berpikir Pak Juwono hanyalah teman baik Ibu. Sebab Pak Juwono bertamu ke rumah kami seperti halnya tamu-tamu yang lain. Lebih-lebih Ibu juga bersikap biasa-biasa saja. Ibu tidak menunjukkan dalam kondisi tengah jatuh cinta.
Kami semua merestui keinginan Ibu untuk menikah lagi. Pertama, karena usia Ibu masih tergolong muda, 38 tahun, untuk mengarungi hidup ini sendirian. Kedua, karena kami tahu bahwa Pak Juwono berstatus duda tanpa anak. Pak Juwono adalah pria yang matang, penyayang,dan bertanggung jawab. Aku dan kedua adikku sudah cukup dekat dengannya.
Masuknya Pak Juwono sebagai anggota baru keluarga kami memang membawa warna-warna lain dalam kehidupan keluarga kami. Aku pribadi sangat senang dengan adanya figur seorang ayah pengganti. Terus terang, sebagai anak perempuan satu-satunya aku haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Apalagi di usia 20 tahunan aku ingin ada yang menuntunku dalam urusan cinta dan berhubungan dengan pria. Aku harap bisa menimba pengalaman dari ayah tiriku ini.
Kedekatanku dengan ayah tiriku membuat Ibu bangga. Beliau senang melihat kami semua akrab dengan suami barunya. Bahkan, boleh dikatakan aku bersikap agak manja kepadanya. Setiap pulang sekolah, aku pasti segera mencari ayah tiriku untuk menceritakan pengalamanku di kampus. Beliau akan dengan sabar mendengar ceritaku, kemudian dengan bijak menasihatiku bila ada hal-hal yang dianggapnya tidak 'sesuai'.
Kadang-kadang atas ijin Ibu, aku mengajak ayah tiriku berjalan-jalan ke mall. Setelah mencicipi hidangan fast food kami mampir untuk nongkrong di toko buku. Aku mempunyai hobi membaca buku filsafat dan psikologi, sama seperti beliau.
Tanpa kusadari aku semakin dekat dan semakin akrab kepada ayah tiriku, aku sudah semakin cuek aja dan tidak malu lagi semisalnya keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk mandi sebagai penutup bagian-bagian tubuhku yang vital dihadapan ayahku. Dan kadangkala ayahku pula yang menggendongku ke tempat tidurku apabila aku kedapatan ketiduran di ruang tamu karena ketiduran akibat mataku yang kelelahan karena membaca buku ataupun menonton telivisi.
Lama-kelamaan aku semakin mengagumi sifat-sifat kedewasaan yang dimiliki oleh ayah tiriku, dan ada rasa perasaan khusus tertentu yang tidak bisa kuterjemahkan, entahlah apakah itu adalah perasaan cinta? Mungkin itulah alasannya aku selalu menampik setiap pernyataan cinta yang dilontarkan oleh teman-teman priaku. Terus terang aku tidak tertarik dengan teman-teman pria sebayaku yang cenderung manja dan kekanak-kanakan. Sebaliknya aku mengagumi pria-pria yang dewasa dan matang. Rasanya aku betah berada disisi mereka untuk mendengar cerita ataupun nasehat-nasehatnya, dan itu semuanya kudapatkan penuh dari ayah tiriku ini.
Rupanya gejala ini juga dirasakan dan ditangkap oleh ayah tiriku. Kalau sebelum pergi ke suatu tempat, aku biasa mencium pipi Ibu dan Ayah tiriku. Sekarang bila ibu tidak ada, Ayah akan membalas mencium pipiku. Semula aku merasa kaget dan ada sedikit perasaan malu, bukan kenapa-kenapa ini adalah ciuman pertama dari seorang laki-laki kepadaku dan sekaligus adalah ayahku. Bahkan pernah suatu waktu aku terperangah ketika ayah tidak hanya membalas mencium pipiku, melainkan juga bibirku. Melihat wajahku memerah, karena aku belum pernah pacaran, Ayah hanya tersenyum simpul.
Kejadian seperti itu terus berulang ketika ibuku ada di dapur dan kebetulan aku berpamitan mau ke kampus. Dan akupun mulai terbiasa dengan 'pamitan' gaya baru dari ayah tiriku. Semakin lama kami berani melakukannya lebih lama, kami pernah melakukannya selama beberapa menit dengan panasnya. Kalau tidak mengingat Ibu yang ada di dapur yang sewaktu-waktu bisa memergoki mungkin ayahku tidak akan melepaskanku dari pagutannya.
Beberapa waktu berselang, suatu saat Ibu harus menjenguk salah satu keponakannya yang dirawat di rumah sakit di Bogor. Kebetulan kedua adikku telah memasuki masa liburan sekolah dan keduanya mengantar dan menemani ibu selama di Bogor. Alhasil hanya aku dan Ayah tiriku yang ada di rumah sekarang ini. Menyadari tidak ada orang lain, sebenarnya hatiku berdegup kencang menyadari saat-saat yang tidak terduga tinggal berdua saja dengan Ayah tiriku yang amat kukagumi.
Ketika aku pulang kuliah menjelang sore hari, beliau sudah menungguku di teras rumah dan terlihat kegembirannya yang terbias di matanya ketika menyambut kepulanganku.
"Pulangnya kog malam, Non?" tanya ayah dengan senyum khasnya.
Aku menjawab dengan santai, "Tadi jalan-jalan dengan teman Yah. "Senyumnya mendadak agak hilang ketika keceritakan aku berjalan-jalan dengan teman-teman cowok kampusku. Aku tertawa dalam hati melihat sikap ayah tiriku yang terlihat sedikit menyimpan rasa cemburu.
Sehabis mandi seperti biasanya aku tetap hanya menggunakan handuk melalui ayah menuju ke arah kamarku.
"Nia, apakah cowok yang menemani kamu adalah pacar kamu?", selidik ayah tiriku.
"Sebentar ayah, Nia mau berpakaian dulu, dan nanti akan Nia ceritakan seluruhnya ke Ayah", jawabku sambil tetap menuju ke arah kamarku, sepintas kulihat ayahku seperti berdiri dari sofa tempat duduknya. Aku menutup pintu kamar dan mulai mengeringkan rambutku dengan menggunakan kipas angin yang kunyalakan.
Tiba-tiba aku mendengar suara derit pintu kamarku terbuka dan kulihat ayah tiriku berjalan masuk menghampiriku. Karena aku masih terbalut dengan handuk aku cuek saja menerima kehadiran ayah tiriku meskipun sesungguhnya hatiku terasa dag dig dug.
"Aduhh.., ayah nih kog penasaran amat sih, dibilang entar juga pasti diceritain", kataku menggoda sembari tetap mengeringkan rambutku yang masih agak basah.
"Nia, kamu serius yah berpacaran dengan cowo yang tadi itu?", masih dengan penasaran ayahku terus menanyaiku.
"Hmm..., Kalo ya kenapa..., kalo tidak juga kenapa?" tanyaku memancing perasaan ayah tiriku.
"Kamu bandel yahh..., udah main rahasia-rahasiaan" ucapnya seraya tiba-tiba tangannya menggelitik pinggulku.
Tiba-tiba aku merasakan ciuman lembut menempel di bibirku, namun aku merasakan pagutan ciuman kali ini lebih terasa dan lebih rileks, mungkin karena Ibu tidak ada di rumah. Akupun membiarkan bibirku dilumat dengan lembut, baru kali ini ciumannya membuatku terasa terbang diawang-awang. Tanpa disadari tangan ayah yang tadi mengelus lembut pinggulku..., telah melepas handuk penutup tubuhku. Akupun baru sadar bahwa aku telah tidak berpakaian. Sebelum aku sempat berpikir banyak, ayahku sudah memelukku kembali dengan eratnya seraya mengelus-elus rambutku yang panjang. Terus terang aku sangat terlena dengan sentuhan kasih sayangnya ini.
Ketika ia mengangkat wajahku, aku menundukkan wajahku yang bersemu merah. Aku bisa mendengar suara detak jantung ayah yang berdegup kencang saat matanya menyapu dengan bersih seluruh lekuk-lekuk tubuhku yang sudah tidak terlindung apapun. Ayah mengelus bibirku dan tiba-tiba memagutnya kembali dengan penuh nafsu. Aku hanya bisa pasrah dibawah kenikmatan yang baru kurasakan ini. Bahkan aku mulai berani membalas pagutannya. Ayah kemudian menyeretku kedalam pangkuannya di atas ranjang. Kami terus berciuman, hingga tangannya mulai bergerak mengelus ke daerah-daerah tubuhku yang paling sensitif.
Aku menjerit kecil ketika kurasakan tangannya yang nakal menyentuh dan meremas-remas dengan lembut payudaraku. Sambil melumat bibirku, ayahku secara perlahan-perlahan berusaha melepaskan seluruh pakaiannya. Aku menjerit kecil tertahan tatkala penis ayahku keluar dari celana dalamnya dan dalam keadaan sangat panjang dan 'tegak', baru kali ini aku menyaksikan secara dekat penis seorang lelaki, bentuknya panjang mengeras dan dibagian ujung kepala penis ayah membesar dan berkilat-kilat bagai jamur. Belum sempat logikaku berjalan,ayah sudah kembali memeluk dan mencumbuku kembali, kini kami sama-sama bergumul dengan panasnya tanpa sehelai benangpun menempel di tubuh kami.
Mataku terpejam rapat sambil berteriak tertahan saat ayah tiriku mencumbui organ kewanitaanku. Ada rasa nikmat luar biasa yang kurasakan, hingga setiap beberapa saat badanku menggelinjang-gelinjang tak kuasa menahan hentakan-hentakan kenikmatan yang keluar dari seluruh sendi-sendi tubuhku. Sampai akhirnya aku merasakan benda panjang dan hangat menyeruak memasuki vaginaku. Saat itulah aku mempersembahkan keperawanan, kehormatan, jiwa ragaku kepada ayah tiriku. Kami bersetubuh tanpa mempedulikan waktu, terus berpacu dan berpacu meliwati klimaks demi klimaks hingga hampir menjelang subuh badan kami sama-sama lemas karena merasakan klimaks yang berkali-kali hingga akhirnya kami rubuh dan tidur berpelukan dalam satu ranjang dengan perasaan puas.
Terus terang pengalaman pertamaku berhubungan seks membawa kesan yang luar biasa dalam hidupku. Aku sama sekali tidak merasakan kesakitan karena ayahku tahu persis bagaimana menjalankan permainan seks kami dengan sebaik mungkin. Malam pertama kami, kami lewatkan dengan mengulang permainan seks hingga tiga kali. Ketika tak berdaya lagi, kami baru berhenti. Seminggu ditinggal Ibu dan adik-adik membuat aku dan Ayah benar-benar menikmati petualangan asmara kami.
Selama hampir setahun menjalin asmara diam-diam dengan ayah, Ibu mulai curiga. Apalagi, Ibu mengetahui kalau sampai berusia 21 tahun aku belum juga mau punya pacar. Padahal aku terhitung cantik dan supel. Apalagi ketika aku sudah menamatkan D-ii bahasa inggrisku, Ibu mendesakku untuk mulai mencari pasangan hidup.
Ketika diam-diam kudiskusikan hal ini kepada Ayah, dia sangat mendukungku menjalin hubungan dengan pria lain. Soalnya, Ayah mulai mencium tanda-tanda kecurigaan di mata Ibu melihat hubunganku dengan Ayah semakin lengket aja.
Maka ketika Wahyu,kakak kelasku yang paling gencar mendekatiku. Kupikir apa salahnya aku membina hubungan dengannya. Apalagi wajahnya lumayan ganteng, postur tubuhnya atletis, dan otaknya encer pula. Singkat cerita aku kemudian serius menjalin hubungan dengannya. Sementara itu, kisah cintaku dengan Ayah terus berlanjut. Kali ini kami lebih banyak melakukan persetubuhan kami di luar rumah. Kadang-kadang kami janji bertemu di hotel A atau B yang letaknya agak jauh dari kota tempat tinggalku.
Enam bulan setelah berpacaran dengan Wahyu, keluarganya datang melamarku. Aku menerima lamarannya dengan perasaan biasa-biasa saja. Terus-terang perasaan cintaku telah kepersembahkan seutuhnya kepada ayah tiriku. Aku menikah hanya untuk menutupi perselingkuhanku dengan ayah.
Untungnya, Wahyu adalah orang yang tidak mempersoalkan keperawananku ketika kami melewatkan malam pertama. Menghadapi permainan seks Wahyu yang tergolong pemula, aku merasa tidak puas. Kadang-kadang aku membayangkan sedang berhubungan badan dengan ayah tiriku yang macho dan berpengalaman. Akhirnya, aku tetap sering menelepon ayah untuk saling bertemu di luar rumah. Usianya yang telah berkepala empat telah mengetahui secara betul segala bentuk permainan seks yang dapat memberikan kepuasan klimaks terhadap gadis-gadis muda seusiaku.
Bercinta dengan ayah tiriku, aku mendapatkan klimaks yang berulang-ulang, hal yang tidak dapat kudapatkan apabila aku berhubungan badan dengan suamiku sendiri. Aku tahu perbuatanku adalah keliru. Namun aku tidak dapat menghapus sosok Ayah tiriku dalam kehidupanku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menghentikan perselingkuhanku ini. Aku hanyalah seorang wanita yang menginginkan adanya figur pria matang disisiku.
Langganan:
Postingan (Atom)