The Arrival
Aku terjaga setelah mendengar pengumuman dari pilot. Sebentar lagi
pesawat ini akan mendarat di Bandara Narita Tokyo. Kulongok keluar
jendela. Cuaca begitu cerah. Entah jam berapa sekarang di Jepang, tapi
kupikir sudah hampir sore. Istriku masih tampak terlelap. Aku enggan
membangunkannya. Nanti sajalah kalau pesawat sudah benar-benar mendarat.
Sepanjang perjalanan kami lebih sering diam atau tidur. Bisa dikatakan
ini bukanlah masa-masa paling romantis dalam kehidupan rumah tangga
kami. Namaku Wawan. Bulan depan usiaku genap 32 tahun. Wanita cantik
yang terlelap di sampingku ini adalah Paulin istriku. Ya, dia begitu
cantik, kalau tidak boleh dikatakan sempurna. Semua ciri standar
kecantikan wanita yang hampir disepakati semua pria manapun di dunia ini
ada pada istriku. Kulit yang putih mulus tanpa noda, tubuh yang
langsing namun tidak ceking, rambut lurus yang panjang terurai, hidung
yang mancung, alis tebal, leher jenjang, pokoknya semuanya. You name it…
Tinggi badan yang 167 cm sangat pas dan sempurna buatku yang tingginya
hanya 173 cm. Begitu juga dengan bentuk payudaranya yang besar alami.
Tidak terlalu besar tentu saja. Bentuknya pas dan sempurna seakan
ditatah dengan sangat hati-hati oleh penciptanya. Yah, bagian tubuh yang
satu itu memang favoritku. Dan lagi, Paulin masih sangat muda. Usiaku
dengannya terpaut cukup jauh. Baru 2 bulan yang lalu dia berulangtahun
yang ke 24. Masih sangat muda dibanding karirnya yang begitu cemerlang.
Yah, sebenarnya karirnya itulah yang kini menjadi ganjalan dalam hatiku.
Semenjak dipecat 2 tahun lalu hingga kini aku tidak bekerja, sementara
sebaliknya karir Paulin sedang menanjak naik. Walhasil selama 2 tahun
ini dialah yang membuat ‘dapur rumahku tetap mengepul’. Sebenarnya
Paulin sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja ada
semacam perasaan ‘kalah’ di dalam hatiku sebagai laki-laki. Kedatangan
kami ke Jepang ini sendiri adalah dalam rangka lonjakan karirnya. Dia
dipercaya bosnya yang asli Jepang untuk mengelola perusahaan barunya di
Tokyo. Walhasil diriku ini seperti suami yang ‘nunut’ istri saja.
Pesawat kami sudah mendarat di Narita. Benar-benar kagum aku melihat
bandara yang sangat besar, jauh lebih besar dari bandara di Jakarta yang
tadinya juga sempat kukagumi karena besarnya, tapi ternyata tidak ada
apa-apanya dibanding bandara di ibukota Jepang ini. Diam-diam terselip
lagi perasaan iri terhadap istriku yang akan segera meniti karir di
Negara yang sangat maju ini. Tak ada orang yang menjemput kami, tapi
dengan pede Paulin sudah tahu harus kemana hanya dengan melihat catatan
kecil yang diberi bosnya. Paulin sedikit menguasai percakapan dalam
bahasa Jepang, jadi ketika ada sedikit kebingungan dengan luwes dia
bertanya pada petugas atau orang lain di sekitar situ. Kami tidak naik
taksi melainkan kereta untuk menuju tujuan berikut yang ternyata cukup
jauh juga dari bandara. Bahkan karena lamanya perjalanan, kami melewati
terbenamnya matahari di dalam kereta itu. Barulah saat sampai di stasiun
yang aku tak sempat mengetahui namanya, kami segera menyambung lagi
dengan taksi menuju tempat singgah sementara kami di Tokyo. Saat itu
hari sudah agak malam. Tempat singgah kami malam ini adalah rumah dari
kerabat bos Paulin. Kami akan menginap 1 malam di sana dan besok baru
akan mulai menempati tempat tinggal baru yang entah dimana. Agaknya
semua sudah dipersiapkan oleh bos Paulin. Rumah ini sangatlah besar dan
luas. Aku sempat canggung ketika memasukinya. Akan tetapi orang-orang di
situ tampak begitu ramah. Lebih ramah dibanding dengan orang Indonesia
kurasa. Yang menemui kami hanya 2 orang laki-laki dan perempuan yang
tampak sudah berumur. Entah mereka itu siapanya bos Paulin, atau apakah
mereka pasangan suami istri atau bukan, aku tidak tahu dan tidak terlalu
ambil pusing. Istriku bercakap2 sebentar dengan mereka, entah apa yang
mereka perbincangkan. Tapi Paulin yang supel tampak langsung akrab
dengan mereka. Tak lama kemudian mereka memanggil pelayan untuk
mengantar kami ke kamar yang telah disediakan. Pelayan perempuan
setengah baya itu tampak begitu cantik dengan kimono yang dipakainya.
Dia juga tampak begitu sopan dan penurut. Sering menunduk, tidak pernah
menatap langsung, dan juga tidak banyak bicara. Paulin sempat mencubit
aku yang berkali-kali mencuri pandang pada pelayan itu. Dengan
‘ndeso’nya aku berpikir, “Secantik itu di sini hanya jadi pelayan, kalau
di Indonesia mungkin sudah jadi bintang iklan dia…”
Rumah yang begitu besar itu tampak sunyi. Tak kulihat penghuni lain
selain 2 orang yang menerima kami tadi, pelayan ini, serta pelayan lain
yang tadi membukakan pintu untuk kami. Sesampai di kamar, Paulin
menanyakan sesuatu pada pelayan itu, kemudian pelayan itu menjelaskan
sambil menunjuk-nunjuk tempat di dalam kamar. Entah apa yang
ditanyakannya. Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan tempat
tidur, dengan masih mengenakan piyama mandinya, Paulin sudah
membuka-buka laptopnya dan mencoba mengakses internet. Agaknya dia ingin
segera mengabari teman-teman terdekatnya. Aku sendiri mulai berbaring.
Terasa lemas badan ini. Mataku menerawang menatap langit-langit. Tak ada
yang kulamunkan, pikiranku kosong saat itu. Entah berapa lama aku
begitu, atau mungkin aku sempat tertidur tanpa sadar, yang jelas
tahu-tahu kudapati Paulin sudah berbaring di sebelahku, memelukku dan
merebahkan kepalanya di pundakku sambil menggumam manja. Kucium wangi
rambutnya, dan aku pun balas mendekapnya. Kami kemudian saling
bertatapan tanpa bicara. Entah kenapa aku merasa canggung dan kagok
dengan istriku sendiri itu. Mungkin karena sikap diamku sejak
keberangkatan kami hingga sekarang ini.
“Mas…” gumam Paulin pelan.
“Yaa…?” Jawabku.
Paulin terdiam. Agaknya dia juga bingung merangkai kata-kata. Dibelainya
pipiku lembut. Jempolnya kemudian menarik ujung bibirku seakan
memaksaku tersenyum.
“Mas kok kayaknya cemberut aja dari tadi…?” Tanyanya gusar.
Aku menghela napas. “Masa sih…? Aku gapapa kok…” Jawabku.
“Yah yang jelas raut muka mas itu loh… kayaknya gak bersemangat banget.” Ucapnya lagi.
“Yah… Gak tau deh, namanya juga baru pindah di tempat baru yang jauh dan asing banget… biasalah…” Jawabku.
Paulin tersenyum manis. “Gak marah kan?” Tanyanya manja.
“Ya gaklah… kenapa harus marah…?” Sahutku.
“Soal pesta itu…” Istriku tidak meneruskan kalimatnya. Wajahnya kini terlihat sayu.
Aku gantian membelai pipi lembutnya, “Udah ga usah diungkit-ungkit lagi sayang…” jawabku.
Paulin pun tersenyum lagi. Pelukannya bertambah erat, kepalanya
beringsut direbahkan di atas dadaku. Kucium rambutnya dengan perasaan
sayang, pelukanku juga kueratkan, mataku kembali menerawang.
“Kita pasti bahagia di sini mas… Kamu pasti betah. Jepang Negara yang
menyenangkan…” Ucap Paulin tanpa menatap kembali ke arahku. Aku diam tak
menjawab. “Kalau ternyata tidak berhasil, kita bisa kembali kapan
saja…” Lanjutnya.
“Ssst…” Sahutku pelan.
“Kita baru sampai, jangan bicara yang nggak-nggak…” Lanjutku menenangkan.
Paulin tidak menjawab lagi. Mungkin dia sudah mencoba untuk tidur. Dan
aku pun kembali menerawang sambil membelai-belai rambutnya. Teringat
tadi saat di dalam taksi Paulin sempat menanyakan hal yang sama, yaitu
soal diamnya aku. Dia menanyakan apakah aku marah tentang ‘pesta itu’.
Walau tadi sudah kujawab bahwa aku tidak marah sejak awal, tapi rasanya
sikap diamku yang berlanjut masih membuatnya penasaran. Diamku ini
memang bukan ngambek gara-gara ‘pesta itu’. Walau bukan berarti juga
‘pesta itu’ tak kupikirkan sama sekali, bahkan kini aku pun kembali
terngiang-ngiang mengingatnya. Yaitu pesta malam perpisahan istriku
dengan rekan-rekan kantornya di Indonesia. Masih detail kuingat dalam
kepalaku bagaimana keseluruhan pesta itu berlangsung.
#################################
Flashback…
Yah, peristiwa itu masih tetap terbayang secara detil di dalam benakku.
Bahkan, ingatanku pun jadi menerawang lebih mundur lagi ke beberapa hari
sebelum pesta perpisahan itu. Yah, kalau diceritakan memang harus
bermula dari situ. Yaitu peristiwa perselingkuhan Paulin dengan bosnya.
Ya. Perselingkuhan. Sulit untuk dipercaya aku mendapati Paulin
berselingkuh. Paulin dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga
dengan kultur Jawa yang kental. Kakeknya memang orang Jerman, jadi
sedikit banyak istriku itu blasteran Jawa dan Jerman. Tapi dia lahir di
Jawa, bapak ibunya juga lahir di Jawa dan dia pun dibesarkan dengan
didikan kultur Jawa. Saat berpacaran, kami juga tidak pernah melakukan
seks bebas. Keperawanannya baru kucicipi saat malam pertama pernikahan
kami. Bisa dibayangkan betapa istimewanya saat itu bagiku. Pernikahanku
yang berjalan 5 tahun lebih, nyaris tanpa prahara. Kehidupan kami sangat
bahagia meskipun kami belum juga dikaruniai momongan. Setelah
diselidiki lebih lanjut, ketahuanlah bahwa ternyata benihkulah yang
kurang ‘unggul’ dan sangat lemah. Walau tidak sampai dicap mandul,
perasaanku sangat hancur saat itu. Dokter menasehati supaya berusaha
lebih keras, bersabar dan berdoa. Dokter juga menyarankan banyak menu2
makanan yang baiknya kukonsumsi. Paulin sendiri sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. Dengan penuh pengertian dia
senantiasa menghiburku. Begitu juga saat aku di-PHK oleh perusahaan.
Paulin juga menenangkanku dengan mengatakan bahwa penghasilannya saja
sudah cukup untuk menghidupi kami berdua. Saat aku mulai frustasi karna
tak juga segera mendapat pekerjaan, istriku mengatakan untuk tidak
terlalu ‘ngoyo’ dan terbebani, Dia bahkan menyarankanku untuk
beristirahat saja. Sebagai laki-laki aku jelas merasa harga diriku jatuh
di mata istriku. Aku benar-benar merasa seperti pecundang. Namun Paulin
selalu menunjukkan sikap untuk meyakinkanku bahwa dirinya tidak pernah
mengeluh dengan keadaanku. Begitulah istriku yang teramat istimewa
bagiku. Itulah mengapa aku seakan tidak percaya ketika mengetahui
tentang perselingkuhannya. Barangkali aku terlalu naif, karena
kecantikan Paulin tentu memikat banyak rekan-rekan prianya. Saat itu
kuingat Paulin menangis memohon ampun. Dapat kulihat betapa besar
penyesalannya. Padahal entah kenapa, aku sendiri sama sekali tidak
meledak marah saat itu. Ya, aku lebih banyak terdiam seribu bahasa. Aku
seakan bingung bagaimana harus bersikap meski perasaanku begitu hancur.
Aku teramat menyayangi istriku. Tidak tega rasanya memarahi dirinya.
Melihatnya menangis saja sudah membuat hatiku trenyuh dan luluh.
Terlebih aku menyadari betapa peranku yang sangat kecil dibanding Paulin
dalam membangun rumah tangga kami. Aku benar-benar merasa tidak berarti
saat itu. Rasa-rasanya aku tidak punya cukup harga diri untuk
memarahinya. Kupeluk dan kubelai rambutnya untuk menunjukkan bahwa aku
memaafkannya. Tangisnya pun berangsur reda. Paulin membalas pelukanku
dengan erat. Aku pun makin luluh. Malam itu kami tidur berpelukan seakan
tidak terjadi apapun.
Perusahaan tempat Paulin bekerja bergerak di bidang periklanan dan
multimedia. Dia sering bercerita bahwa suasana di kantornya sangat
menyenangkan dan jauh dari suasana formal. Mungkin memang begitu
harusnya sebuah industri yang erat kaitannya dengan seni dan kreatifitas
itu. Hubungan antar karyawan, dan bahkan dengan bos sekalipun sangat
cair dan akrab. Canda dan tawa sudah biasa untuk menghilangkan kepenatan
dalam bekerja. Kebebasan seperti itulah yang membuat Paulin sangat
menikmati perjalanan karirnya. Keesokan harinya, dalam suasana santai
istriku membuka percakapan mengenai perselingkuhannya. Sungguh tak
kuduga-duga dia akan menyinggung hal itu. Padahal aku sendiri ingin
membuang jauh-jauh ingatan itu dan menganggapnya tak pernah terjadi.
Tapi kini istriku sendirilah yang malah mengungkitnya. Yang
mengherankan, mimiknya terlihat santai seolah hendak membicarakan
sesuatu yang biasa saja.
“Mas… mengenai semalam… Mas bener-bener nggak marah kan?” Tanyanya.
Aku menghela napas tanpa menjawab. Kuperlihatkan raut muka ketus supaya
ia paham bahwa aku sama sekali tak ingin membicarakan hal itu. Meskipun
tampak menyadarinya, ternyata Paulin tak bergeming.
“Yoshi memang mata keranjang dan sudah lama dia mengincar aku…” Lanjut Paulin.
Yoshi adalah nama bosnya yang asli Jepang. Begitulah, memanggil bosnya
saja langsung dengan namanya tanpa embel-embel “pak”. Aku makin
bersungut-sungut membayangkan bagaimana keakraban di antara mereka.
“Sebelum aku lanjutin, mas perlu tahu bahwa aku sama sekali gak
mengkhianati mas, aku gak mengkhianati pernikahan kita. Aku tetep cinta
mas sepenuh hati…” Ujar Paulin.
“Lin, hal itu gak usah diungkit-ungkit lagi… ok?” Akhirnya aku menanggapinya.
“Nggak mas, justru aku ingin membicarakannya…” Sahut Paulin tegas. Aku agak terkejut mendengarnya. Entah apa maunya istriku ini.
“Aku nggak tahu kenapa mas nggak marah. Bukan berarti aku ingin mas
marah, lagipula memang tidak seharusnya mas marah… Hanya saja normalnya
tiap suami mustinya marah kalo istrinya selingkuh.” Jelas Paulin mbulet. Aku tertegun mendengarnya.
“Maksudmu apa sih?” Tanyaku gusar.
“Aku takut mas nggak marah tapi memendam dendam di hati.” Jawab Paulin.
“Bukan begitu, aku justru ingin melupakannya. Sudah. Itu sudah berlalu… Aku akan menganggapnya tidak pernah terjadi.” Jawabku.
“Tapi itu kan terjadi mas. Hanya karena mas gak mau membicarakannya
bukan berarti hal itu tidak pernah terjadi…” Sahut Paulin. Nadanya
meninggi.
“Lalu maumu bagaimana…?” Aku semakin gusar.
“Pertama aku ingin mas percaya bahwa secuil pun rasa cintaku pada mas
gak hilang. Dan bahwa aku ingin terus hidup bersama mas sampai akhir
hayat… Aku ingin mas tidak meragukannya.” Paulin menunjukkan raut
serius. Aku manggut-manggut saja tanpa menjawab.
“Please, aku ingin mas yakin itu…” Lanjut Paulin mendesak.
“Sayang…. Aku mempercayainya sebesar aku ingin mempercayainya. Aku juga
nggak ingin kehilangan kamu… Laki-laki bodoh mana yang mau melepas istri
sebaik dan secantik kamu…” Aku mencoba meyakinkan istriku. “Aku tahu
pasti bukan hanya bosmu aja kan yang ngincer kamu? Temen-temen kantor
kamu juga pastilah menginginkan kamu.” Lanjutku. “Aku ingat bagaimana
aku dulu begitu tergila-gila sama kamu. Aku masih ingat karna sampai
sekarang pun aku masih tergila-gila sama kamu…” Aku memungkasi. Kuharap
Paulin bisa tenang dengan kata-kataku yang jujur itu. Benarlah, wajahnya
memerah. Dia pun tersenyum dan mengecup pipiku lembut. “Makasih mas…”
bisiknya.
“Sebagai wanita aku juga seneng dan bangga ditaksir banyak laki-laki…” Ucapnya kemudian.
“Dasar perempuan, seneng banget ya jadi pusat perhatian…?” Godaku ketus.
“Iyalah… Udah naluri…” Jawab Paulin tertawa kecil.
“Tapi bukan berarti kamu bisa jatuh ke pelukan laki-laki lain dong… kamu kan udah punya aku.” Sindirku.
Paulin tersenyum. Dia menatapku kemudian mencubit hidungku gemas. “Nah… kepikiran juga kan…?” Godanya.
“Temen-temen di kantorku itu gila semua mas… Kamu kan udah sering
kuceritai tentang suasana di kantorku yang sangat cair…?” Lanjutnya.
“Yang namanya cowok kalo lihat yang bening dikit aja udah blingsatan.
Trus jadi nakal, suka menggoda-goda cari perhatian… Kadang sampe ganggu
banget…” Paulin terus nyerocos.
“Tapi pria-pria di kantorku itu jauh lebih gila lagi. Lebih nakal lagi…
Parah deh pokoknya!” Istriku terus bercerita dengan semangat. Kalau
sudah begini biasanya aku akan jadi pendengar yang baik. Paulin pun
melanjutkan, “Kalau cowok lain paling cuma suit-suit atau merayu-rayu
dengan konyol. Tapi pria di kantorku udah kebangetan deh pornonya…”
Terhenyak aku mendengar istriku mengucap kata ‘porno’.
“Yaah kita biasa bercanda gitu di kantor. Tahulah…” Lanjut Paulin.
“Ya kamu kan udah biasa cerita itu…” Jawabku gusar.
“Ya tapi aku belum pernah cerita bercandanya kayak gimana kan?” Sahut
Paulin. Aku terdiam. “Yah awal-awal sih bercanda biasa aja. Sedikit
menggoda kukira wajar. Tapi lama-kelamaan seiring dengan makin akrabnya
kita, mereka udah pada berani main tangan. Colek-colek gitu deh… bahkan
remas pantat itu udah biasa banget. Makanan sehari-hari!” Lanjutnya. Aku
tertegun mendengarnya. Rekan kerja pria Paulin biasa meremas pantatnya?
Pikiranku cukup terusik. Perhatianku pun mulai tertarik kepada cerita
Paulin.
“Di kantorku yang cewek kan bukan hanya aku aja mas. Selain aku ada 4
orang lagi. Yenni dan Susan kamu udah kenal kan? Lainnya ada Lisa sama
Ai…” Lanjut Paulin.
Aku mengangguk. Yenni dan Susan yang disebut Paulin sudah beberapa kali
datang ke rumah sehingga aku mengenal mereka. “Hmmm, si Lisa sama Ai itu
apa juga secantik Jenni dan Susan?” Selidikku.
Paulin tertawa kecil. Dicubitnya pinggangku. “Nah itu mas, kami berlima
semuanya cantik-cantik! Kayaknya si Yoshi emang sengaja memperkerjakan
cewek cantik saja… Udah kubilang kan dia kayak gimana. Nah di antara
para pria itu, yang paling parah ya si Yoshi itu!” Jawab Paulin
bersemangat. Heran aku melihatnya. Dia menceritakan kenakalan
teman-teman pria di kantornya tapi bukan dengan nada sewot melainkan
dengan nada riang. Aku cukup terusik dengan kenyataan itu. Tapi entah
kenapa aku sendiri juga ingin mendengarkan lebih lanjut.
“Lebih parah gimana maksudmu…?” Tanyaku.
“Yaah, namanya juga bos, dia yang paling berani… Kita lengah dikit aja
deh, dada kita langsung diremasnya!” Jelas Paulin berbinar. Aku jelas
terkejut mendengarnya.
“Haah dia suka mencuri-curi meremas dada begitu??” Tanyaku gusar.
“Iya mas. Bahkan dia suka memprovokasi karyawan cowok lainnya. Kalo udah
berhasil meremas dada dia suka memamerkan kemenangannya dan mengejek
mereka. Kalo yang lain kan hanya berani remas pantat, nah dia menantang
keberanian yang lain untuk melakukan hal yang sama kayak dia.” Jelas
Paulin.
“Sayang… Bukankah itu pelecehan namanya? Kalian harusnya bisa melaporkannya kan…?” Aku makin gusar.
Mendengar pertanyaanku yang lugu itu Paulin tertawa. “Yaah ga perlu
sampe gitu lah mas… Semuanya kan hanya dalam rangka bercanda saja. Itu
gambaran suasana di kantorku yang bebas dan akrab berbeda dengan
kantor-kantor lainnya. Yah, hampir semua karyawan kantorku itu kan
seniman. Total yang kerja di situ hanya 13 orang. 9 pria dan 5 wanita.
Dan itu sudah 3 tahun tidak berganti. Tak ada yang keluar, dan nggak ada
juga orang baru yang masuk. Ya kita jadi akrab dan saling mengenal satu
sama lain dengan baik.” Paulin menjelaskan panjang lebar. Walau begitu
masih sukar bagiku untuk mempercayainya.
“Yang jelas itu suasana di kantorku sehari-hari. Itu kultur kerjaku.
Bercandanya ya begitu itu. Kalopun hanya obrolan, seringkali obrolannya
menjurus ke hal-hal yang cabul. Tentu nggak langsung begitu pada
awalnya. Semua itu setelah kami sudah sangat akrab. Aku nggak tahu
gimana menjelaskannya padamu, mungkin kamu harus melihat atau
mengalaminya sendiri supaya paham. Yang jelas itu bukan hal yang membuat
kami para wanita risih…” Paulin meneruskan ceritanya.
Aku terus mendengarkannya dengan seksama dan gilanya tanpa kusadari
penisku mulai mengalami ereksi. Damn! Aku sendiri tak percaya dan seakan
ingin marah pada diriku sendiri. Aku pun menyilangkan kaki supaya
Paulin tidak menyadarinya.
“Kami para wanita menyadari bahwa Yoshi itu memperkerjakan kami karna
memilih kecantikan kami. Dan kami juga sadar sehari-harinya kami jadi
objek pemanis di kantor. Yah, apalagi dengan ditambahi semua
godaan-godaan dan obrolan-obrolan cabul itu, semua itu justru kadang
membuat kami ge-er dan yaahh… kamu tahulah, kami sedikit bangga
karenanya…” Sambil mengatakan itu Paulin melirik mataku, ingin
mengetahui bagaimana reaksiku mendengarnya.
Tapi aku sendiri nyaris tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Mungkin karena
sibuk menyembunyikan ereksiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku
bersikap begitu. Wanita cantik yang duduk di sampingku ini istriku
sendiri. Milikku. Harusnya tidak aneh jika aku yang sedang ereksi ini
langsung menubruk dan menggaulinya saat ini juga. Tapi aku malah memilih
mendengarkan ceritanya lebih lanjut.
“Kami sudah terbiasa dengan suasana itu dan kurasa memang begitulah
sewajarnya reaksi pria manapun terhadap wanita cantik. Si Lisa sama
Susan yang belum menikah malah mengawali dengan berani bersikap bitchy
loh… Mereka memang nekat. Dari cara bicaranya sampai pakaiannya semuanya
‘mengundang’. Awalnya, aku, Yenni, dan Ai tertawa saja dengan tingkah
mereka berdua. Kadang kami malah ikut memprovokasi mereka supaya lebih
nakal lagi supaya pria-pria itu makin blingsatan. Terutama si Yoshi
itu…” Ujar Paulin terkekeh. Dengan bersemangat dia melanjutkan.
“Menyenangkan sekali melihat bagaimana reaksi pria ketika ‘mupeng’. Lama
kelamaan kami semua terpancing juga untuk tampil seksi seperti Lisa dan
Susan itu.”
Apa? Istriku juga ikut-ikutan tampil seksi? Sepertinya aku salah dengar.
“Sayang, bukankah selama ini kulihat penampilanmu sewajarnya saja kalau
berangkat kerja?” Tanyaku lugu.
Paulin tertawa. “Ya kalo dari rumah udah seksi gimana di jalan nanti?” Jawabnya.
Ya, istriku memang sederhana. Itu salah satu dari banyak kelebihan yang
membuat aku jatuh cinta padanya. Dia lebih suka berangkat kantor
menggunakan taksi ketimbang menyetir mobil sendiri. Waktu kutawarkan
untuk memperkerjakan seorang sopir, dia juga menolaknya. Bahkan waktu
awal-awal Bus TransJakarta beroperasi, semangat sekali dia ingin
mencobanya. Sampai sekarang dia juga terkadang masih suka menggunakan
Bus umum itu.
“Kami tampil bitchy
ya hanya di kantor saja mas… Jadi kamu nggak usah khawatir, semua
itu hanya untuk suasana di kantor saja. Aku tentu nggak berani
sembarangan juga di luar.” Lanjut Paulin. Aku tak tahu bagaimana
logikanya bahwa aku nggak perlu khawatir bahwa dia tampil nakal hanya di
kantornya saja. Tapi toh aku mencoba untuk bersikap biasa saja.
“Kami bersenang-senang dengan itu. Terkadang kami pamer-pamer sedikit
untuk memanaskan suasana…” Lanjut Paulin. Matanya berbinar ketika
mengucapkannya.
“Pa… Pamer gimana maksudmu??” Tanyaku.
“Yaah, kamu tahulah… Pamer tubuh sedikit dengan menyingkap paha atau
sekedar belahan dada. Lisa itu yang paling berani. Dia bahkan pernah
mengekspos payudaranya ketika salah satu karyawan pria berhasil
meremasnya. Dia pura-pura kesal dan membuka dadanya, ‘apa-apaan sih gini
aja pada penasaran, nih aku kasih semuanya!’ Paulin mencoba menirukan
kata-kata Lisa.
“Gila, berani sekali dia menantang-nantang begitu. Semua karyawan pria
di situ jelas kegirangan dan kami para wanita juga tanpa sadar turut
mengelu-elukannya. Dada Lisa memang paling montok di antara kami. Dan
jelas sekali Lisa bangga dan menikmatinya… Menjadi pusat perhatian dan
dikagumi seperti itu.” Jelas Paulin melanjutkan.
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tanyaku penasaran.
Paulin tertawa. “Yah, ketika pria itu hendak meremasnya lagi Lisa
buru-buru menghindar sambil menutup kembali dadanya. Begitulah… jadi
semua itu hanya bercanda saja…” Jawabnya terkekeh.
Aku pun manggut-manggut tanda mengerti. “Ooh begitu…” Gumamku. “Tapi
kamu nggak pernah melakukan hal serupa kan…?” Tanyaku menyelidik lebih
lanjut. Aku seperti lupa dengan kenyataan bahwa bahkan Paulin sudah
melakukan yang lebih dari itu, ya meniduri Yoshi itu!
Paulin terdiam sejenak. “Aku tak pernah sengaja melakukannya…” Jawabnya pelan.
Aku terhenyak. Itu artinya dia sudah pernah mengekspos payudaranya juga!
Kecemburuanku mulai memuncak, namun seiring dengan itu ereksiku juga
makin mengeras hingga maksimal. Sial. Gara-gara itu aku jadi tidak tahu
bagaimana musti bersikap. Melihatku diam Paulin pun melanjutkan.
“Suatu ketika Yoshi pura-pura menumpahkan kopi di bajuku sehingga aku
harus melepaskannya. Yoshi minta maaf dan meminjamkan ruangannya yang
tertutup untukku berganti pakaian. Tapi aku tak bawa baju ganti,
kubilang aku akan mengangin-anginkan pakaianku sejenak supaya agak
kering sedikit saja. Jadi aku akan meminjam ruangannya agak lama. Ya
sudah, aku kemudian telanjang dada di ruangan Yoshi sambil
mengangin-anginkan bajuku. Aku benar-benar mengira bahwa pintu ruangan
itu terkunci karna memang aku sendiri yang menguncinya. Tapi ternyata
Yoshi punya kunci serep dan tiba-tiba saja dia membuka pintu dari luar.
Aku kaget setengah mati karena ternyata semua teman kantorku, pria dan
wanita, sudah ada di balik pintu. Semuanya tertawa dan berteriak-teriak
menyorakiku sambil bertepuktangan. Aku langsung menutup dadaku dengan
tangan. Duh… malu banget saat itu, dasar si Yoshi sialan, semua itu
hanya akal bulusnya saja untuk melihatku telanjang!” Muka Paulin
dicemberut-cemberutkan supaya terlihat kesal. Namun aku tahu bahwa dia
sama sekali tidak merasa kesal. Yah seperti Lisa, kemungkinan besar
Paulin menikmatinya juga.
“Akhirnya Yoshi masuk dan mengunci pintu dari dalam. Semua karyawan pria
bersorak-sorak dari luar. Sebal sekali rasanya saat itu. Cengengesan
aja Yoshi itu sudah mengerjaiku seperti itu. Ternyata dia ada pakaian
ganti dan menyerahkannya padaku. Entah pakaian siapa itu dan kenapa dia
menyimpannya, yang jelas aku langsung saja menerimanya karna pakaianku
tentu tidak akan cepat keringnya. Tapi di situ aku jadi sulit mengelak
juga dari tangannya yang nakal…”
“Yah, dia berhasil mencuri-curi kesempatan untuk meremas dada
telanjangku setidaknya 2 atau 3 kali sebelum aku benar-benar bisa
mengenakan pakaian yang diberikannya.” Lanjut Paulin sambil tetap
memasang muka sok cemberutnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana
perasaanku sekarang. Mungkin seharusnya aku marah, tapi yang ada malah
aku makin susah mengendalikan ereksiku. Sialnya, Paulin menyadari hal
itu. Tangannya meraih selangkanganku dan meremasnya. Malu sekali aku
karenanya. Paulin tersenyum nakal, “Duh mas ini genit deh… suka ya
istrinya dikerjain orang begitu?” Godanya. “Sini dikeluarin, ga kasihan
apa sama adek kecilnya, sempit begitu…” Ucapnya genit. Aku makin
tersipu. Kutepis tangannya yang hendak membuka retsleting celanaku.
“Bukannya harusnya kamu pake bra saat itu???” Tanyaku gusar.
Mendengar pertanyaanku lagi-lagi Paulin malah tertawa tersipu, “Nah itu
mas… Saat itu aku memang pas sengaja tidak memakainya. Itu juga dalam
rangka tampil seksi menggoda teman-teman priaku...”
“Yah mungkin itu hukuman buatku. Sekalinya tampil berani nekat dengan
tanpa BH seperti itu, eh akhirnya malah aku harus memperlihatkan
semuanya pada teman-teman priaku.” Jelasnya sambil tertawa. Aku begitu
terkesima mendengarnya. Bosnya mengerjainya seperti itu dan
menganggapnya lelucon, dan ternyata Paulin pun menganggapnya sama. Semua
hanya lelucon baginya, dan jelas sekali dia menikmatinya. Pikiranku
berkecamuk sehingga lengah. Begitu kusadari, Paulin sudah berhasil
mengeluarkan batang penisku dari balik celanaku. Dia terpekik girang
seperti baru pertama kali melihat penis saja.
“Duh kasihan banget udah keras begini…” Godanya sambil melirikku nakal.
Sial, malu sekali aku saat itu. Wajahku mungkin terlihat sangat memerah
seperti kepiting rebus. Ah… Kenapa juga aku harus malu dengan istriku
sendiri? Perasaanku benar-benar campur aduk.
Paulin mulai mengocok penisku pelan sambil tersenyum dan melirikku
nakal. Tanpa mengatakan apa-apa aku sudah bisa mengerti apa maunya. Aku
mengangguk dan Paulin pun beringsut turun dan berlutut di depanku…sore
itu kami bercinta dengan hebat
##################################
Sumber : Blog Tetangga
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus