Jumat, 30 Mei 2014

New Life in Japan Part Zero: The Prequel 1

The Arrival

Aku terjaga setelah mendengar pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat ini akan mendarat di Bandara Narita Tokyo. Kulongok keluar jendela. Cuaca begitu cerah. Entah jam berapa sekarang di Jepang, tapi kupikir sudah hampir sore. Istriku masih tampak terlelap. Aku enggan membangunkannya. Nanti sajalah kalau pesawat sudah benar-benar mendarat. Sepanjang perjalanan kami lebih sering diam atau tidur. Bisa dikatakan ini bukanlah masa-masa paling romantis dalam kehidupan rumah tangga kami. Namaku Wawan. Bulan depan usiaku genap 32 tahun. Wanita cantik yang terlelap di sampingku ini adalah Paulin istriku. Ya, dia begitu cantik, kalau tidak boleh dikatakan sempurna. Semua ciri standar kecantikan wanita yang hampir disepakati semua pria manapun di dunia ini ada pada istriku. Kulit yang putih mulus tanpa noda, tubuh yang langsing namun tidak ceking, rambut lurus yang panjang terurai, hidung yang mancung, alis tebal, leher jenjang, pokoknya semuanya. You name it… Tinggi badan yang 167 cm sangat pas dan sempurna buatku yang tingginya hanya 173 cm. Begitu juga dengan bentuk payudaranya yang besar alami. Tidak terlalu besar tentu saja. Bentuknya pas dan sempurna seakan ditatah dengan sangat hati-hati oleh penciptanya. Yah, bagian tubuh yang satu itu memang favoritku. Dan lagi, Paulin masih sangat muda. Usiaku dengannya terpaut cukup jauh. Baru 2 bulan yang lalu dia berulangtahun yang ke 24. Masih sangat muda dibanding karirnya yang begitu cemerlang. Yah, sebenarnya karirnya itulah yang kini menjadi ganjalan dalam hatiku. Semenjak dipecat 2 tahun lalu hingga kini aku tidak bekerja, sementara sebaliknya karir Paulin sedang menanjak naik. Walhasil selama 2 tahun ini dialah yang membuat ‘dapur rumahku tetap mengepul’. Sebenarnya Paulin sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja ada semacam perasaan ‘kalah’ di dalam hatiku sebagai laki-laki. Kedatangan kami ke Jepang ini sendiri adalah dalam rangka lonjakan karirnya. Dia dipercaya bosnya yang asli Jepang untuk mengelola perusahaan barunya di Tokyo. Walhasil diriku ini seperti suami yang ‘nunut’ istri saja.
Pesawat kami sudah mendarat di Narita. Benar-benar kagum aku melihat bandara yang sangat besar, jauh lebih besar dari bandara di Jakarta yang tadinya juga sempat kukagumi karena besarnya, tapi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding bandara di ibukota Jepang ini. Diam-diam terselip lagi perasaan iri terhadap istriku yang akan segera meniti karir di Negara yang sangat maju ini. Tak ada orang yang menjemput kami, tapi dengan pede Paulin sudah tahu harus kemana hanya dengan melihat catatan kecil yang diberi bosnya. Paulin sedikit menguasai percakapan dalam bahasa Jepang, jadi ketika ada sedikit kebingungan dengan luwes dia bertanya pada petugas atau orang lain di sekitar situ. Kami tidak naik taksi melainkan kereta untuk menuju tujuan berikut yang ternyata cukup jauh juga dari bandara. Bahkan karena lamanya perjalanan, kami melewati terbenamnya matahari di dalam kereta itu. Barulah saat sampai di stasiun yang aku tak sempat mengetahui namanya, kami segera menyambung lagi dengan taksi menuju tempat singgah sementara kami di Tokyo. Saat itu hari sudah agak malam. Tempat singgah kami malam ini adalah rumah dari kerabat bos Paulin. Kami akan menginap 1 malam di sana dan besok baru akan mulai menempati tempat tinggal baru yang entah dimana. Agaknya semua sudah dipersiapkan oleh bos Paulin. Rumah ini sangatlah besar dan luas. Aku sempat canggung ketika memasukinya. Akan tetapi orang-orang di situ tampak begitu ramah. Lebih ramah dibanding dengan orang Indonesia kurasa. Yang menemui kami hanya 2 orang laki-laki dan perempuan yang tampak sudah berumur. Entah mereka itu siapanya bos Paulin, atau apakah mereka pasangan suami istri atau bukan, aku tidak tahu dan tidak terlalu ambil pusing. Istriku bercakap2 sebentar dengan mereka, entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi Paulin yang supel tampak langsung akrab dengan mereka. Tak lama kemudian mereka memanggil pelayan untuk mengantar kami ke kamar yang telah disediakan. Pelayan perempuan setengah baya itu tampak begitu cantik dengan kimono yang dipakainya. Dia juga tampak begitu sopan dan penurut. Sering menunduk, tidak pernah menatap langsung, dan juga tidak banyak bicara. Paulin sempat mencubit aku yang berkali-kali mencuri pandang pada pelayan itu. Dengan ‘ndeso’nya aku berpikir, “Secantik itu di sini hanya jadi pelayan, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang iklan dia…”

Rumah yang begitu besar itu tampak sunyi. Tak kulihat penghuni lain selain 2 orang yang menerima kami tadi, pelayan ini, serta pelayan lain yang tadi membukakan pintu untuk kami. Sesampai di kamar, Paulin menanyakan sesuatu pada pelayan itu, kemudian pelayan itu menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk tempat di dalam kamar. Entah apa yang ditanyakannya. Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan tempat tidur, dengan masih mengenakan piyama mandinya, Paulin sudah membuka-buka laptopnya dan mencoba mengakses internet. Agaknya dia ingin segera mengabari teman-teman terdekatnya. Aku sendiri mulai berbaring. Terasa lemas badan ini. Mataku menerawang menatap langit-langit. Tak ada yang kulamunkan, pikiranku kosong saat itu. Entah berapa lama aku begitu, atau mungkin aku sempat tertidur tanpa sadar, yang jelas tahu-tahu kudapati Paulin sudah berbaring di sebelahku, memelukku dan merebahkan kepalanya di pundakku sambil menggumam manja. Kucium wangi rambutnya, dan aku pun balas mendekapnya. Kami kemudian saling bertatapan tanpa bicara. Entah kenapa aku merasa canggung dan kagok dengan istriku sendiri itu. Mungkin karena sikap diamku sejak keberangkatan kami hingga sekarang ini.

“Mas…” gumam Paulin pelan.

“Yaa…?” Jawabku.

Paulin terdiam. Agaknya dia juga bingung merangkai kata-kata. Dibelainya pipiku lembut. Jempolnya kemudian menarik ujung bibirku seakan memaksaku tersenyum.


“Mas kok kayaknya cemberut aja dari tadi…?” Tanyanya gusar.

Aku menghela napas. “Masa sih…? Aku gapapa kok…” Jawabku.

“Yah yang jelas raut muka mas itu loh… kayaknya gak bersemangat banget.” Ucapnya lagi.

“Yah… Gak tau deh, namanya juga baru pindah di tempat baru yang jauh dan asing banget… biasalah…” Jawabku.

Paulin tersenyum manis. “Gak marah kan?” Tanyanya manja.

“Ya gaklah… kenapa harus marah…?” Sahutku.

“Soal pesta itu…” Istriku tidak meneruskan kalimatnya. Wajahnya kini terlihat sayu.

Aku gantian membelai pipi lembutnya, “Udah ga usah diungkit-ungkit lagi sayang…” jawabku.

Paulin pun tersenyum lagi. Pelukannya bertambah erat, kepalanya beringsut direbahkan di atas dadaku. Kucium rambutnya dengan perasaan sayang, pelukanku juga kueratkan, mataku kembali menerawang.

“Kita pasti bahagia di sini mas… Kamu pasti betah. Jepang Negara yang menyenangkan…” Ucap Paulin tanpa menatap kembali ke arahku. Aku diam tak menjawab. “Kalau ternyata tidak berhasil, kita bisa kembali kapan saja…” Lanjutnya.

“Ssst…” Sahutku pelan.

“Kita baru sampai, jangan bicara yang nggak-nggak…” Lanjutku menenangkan.

Paulin tidak menjawab lagi. Mungkin dia sudah mencoba untuk tidur. Dan aku pun kembali menerawang sambil membelai-belai rambutnya. Teringat tadi saat di dalam taksi Paulin sempat menanyakan hal yang sama, yaitu soal diamnya aku. Dia menanyakan apakah aku marah tentang ‘pesta itu’. Walau tadi sudah kujawab bahwa aku tidak marah sejak awal, tapi rasanya sikap diamku yang berlanjut masih membuatnya penasaran. Diamku ini memang bukan ngambek gara-gara ‘pesta itu’. Walau bukan berarti juga ‘pesta itu’ tak kupikirkan sama sekali, bahkan kini aku pun kembali terngiang-ngiang mengingatnya. Yaitu pesta malam perpisahan istriku dengan rekan-rekan kantornya di Indonesia. Masih detail kuingat dalam kepalaku bagaimana keseluruhan pesta itu berlangsung.

#################################
Flashback…

Yah, peristiwa itu masih tetap terbayang secara detil di dalam benakku. Bahkan, ingatanku pun jadi menerawang lebih mundur lagi ke beberapa hari sebelum pesta perpisahan itu. Yah, kalau diceritakan memang harus bermula dari situ. Yaitu peristiwa perselingkuhan Paulin dengan bosnya. Ya. Perselingkuhan. Sulit untuk dipercaya aku mendapati Paulin berselingkuh. Paulin dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga dengan kultur Jawa yang kental. Kakeknya memang orang Jerman, jadi sedikit banyak istriku itu blasteran Jawa dan Jerman. Tapi dia lahir di Jawa, bapak ibunya juga lahir di Jawa dan dia pun dibesarkan dengan didikan kultur Jawa. Saat berpacaran, kami juga tidak pernah melakukan seks bebas. Keperawanannya baru kucicipi saat malam pertama pernikahan kami. Bisa dibayangkan betapa istimewanya saat itu bagiku. Pernikahanku yang berjalan 5 tahun lebih, nyaris tanpa prahara. Kehidupan kami sangat bahagia meskipun kami belum juga dikaruniai momongan. Setelah diselidiki lebih lanjut, ketahuanlah bahwa ternyata benihkulah yang kurang ‘unggul’ dan sangat lemah. Walau tidak sampai dicap mandul, perasaanku sangat hancur saat itu. Dokter menasehati supaya berusaha lebih keras, bersabar dan berdoa. Dokter juga menyarankan banyak menu2 makanan yang baiknya kukonsumsi. Paulin sendiri sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. Dengan penuh pengertian dia senantiasa menghiburku. Begitu juga saat aku di-PHK oleh perusahaan. Paulin juga menenangkanku dengan mengatakan bahwa penghasilannya saja sudah cukup untuk menghidupi kami berdua. Saat aku mulai frustasi karna tak juga segera mendapat pekerjaan, istriku mengatakan untuk tidak terlalu ‘ngoyo’ dan terbebani, Dia bahkan menyarankanku untuk beristirahat saja. Sebagai laki-laki aku jelas merasa harga diriku jatuh di mata istriku. Aku benar-benar merasa seperti pecundang. Namun Paulin selalu menunjukkan sikap untuk meyakinkanku bahwa dirinya tidak pernah mengeluh dengan keadaanku. Begitulah istriku yang teramat istimewa bagiku. Itulah mengapa aku seakan tidak percaya ketika mengetahui tentang perselingkuhannya. Barangkali aku terlalu naif, karena kecantikan Paulin tentu memikat banyak rekan-rekan prianya. Saat itu kuingat Paulin menangis memohon ampun. Dapat kulihat betapa besar penyesalannya. Padahal entah kenapa, aku sendiri sama sekali tidak meledak marah saat itu. Ya, aku lebih banyak terdiam seribu bahasa. Aku seakan bingung bagaimana harus bersikap meski perasaanku begitu hancur. Aku teramat menyayangi istriku. Tidak tega rasanya memarahi dirinya. Melihatnya menangis saja sudah membuat hatiku trenyuh dan luluh. Terlebih aku menyadari betapa peranku yang sangat kecil dibanding Paulin dalam membangun rumah tangga kami. Aku benar-benar merasa tidak berarti saat itu. Rasa-rasanya aku tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kupeluk dan kubelai rambutnya untuk menunjukkan bahwa aku memaafkannya. Tangisnya pun berangsur reda. Paulin membalas pelukanku dengan erat. Aku pun makin luluh. Malam itu kami tidur berpelukan seakan tidak terjadi apapun.

Perusahaan tempat Paulin bekerja bergerak di bidang periklanan dan multimedia. Dia sering bercerita bahwa suasana di kantornya sangat menyenangkan dan jauh dari suasana formal. Mungkin memang begitu harusnya sebuah industri yang erat kaitannya dengan seni dan kreatifitas itu. Hubungan antar karyawan, dan bahkan dengan bos sekalipun sangat cair dan akrab. Canda dan tawa sudah biasa untuk menghilangkan kepenatan dalam bekerja. Kebebasan seperti itulah yang membuat Paulin sangat menikmati perjalanan karirnya. Keesokan harinya, dalam suasana santai istriku membuka percakapan mengenai perselingkuhannya. Sungguh tak kuduga-duga dia akan menyinggung hal itu. Padahal aku sendiri ingin membuang jauh-jauh ingatan itu dan menganggapnya tak pernah terjadi. Tapi kini istriku sendirilah yang malah mengungkitnya. Yang mengherankan, mimiknya terlihat santai seolah hendak membicarakan sesuatu yang biasa saja.

“Mas… mengenai semalam… Mas bener-bener nggak marah kan?” Tanyanya.

Aku menghela napas tanpa menjawab. Kuperlihatkan raut muka ketus supaya ia paham bahwa aku sama sekali tak ingin membicarakan hal itu. Meskipun tampak menyadarinya, ternyata Paulin tak bergeming.

“Yoshi memang mata keranjang dan sudah lama dia mengincar aku…” Lanjut Paulin.

Yoshi adalah nama bosnya yang asli Jepang. Begitulah, memanggil bosnya saja langsung dengan namanya tanpa embel-embel “pak”. Aku makin bersungut-sungut membayangkan bagaimana keakraban di antara mereka.

“Sebelum aku lanjutin, mas perlu tahu bahwa aku sama sekali gak mengkhianati mas, aku gak mengkhianati pernikahan kita. Aku tetep cinta mas sepenuh hati…” Ujar Paulin.

“Lin, hal itu gak usah diungkit-ungkit lagi… ok?” Akhirnya aku menanggapinya.

“Nggak mas, justru aku ingin membicarakannya…” Sahut Paulin tegas. Aku agak terkejut mendengarnya. Entah apa maunya istriku ini.

“Aku nggak tahu kenapa mas nggak marah. Bukan berarti aku ingin mas marah, lagipula memang tidak seharusnya mas marah… Hanya saja normalnya tiap suami mustinya marah kalo istrinya selingkuh.” Jelas Paulin mbulet. Aku tertegun mendengarnya.

“Maksudmu apa sih?” Tanyaku gusar.

“Aku takut mas nggak marah tapi memendam dendam di hati.” Jawab Paulin.

“Bukan begitu, aku justru ingin melupakannya. Sudah. Itu sudah berlalu… Aku akan menganggapnya tidak pernah terjadi.” Jawabku.

“Tapi itu kan terjadi mas. Hanya karena mas gak mau membicarakannya bukan berarti hal itu tidak pernah terjadi…” Sahut Paulin. Nadanya meninggi.

“Lalu maumu bagaimana…?” Aku semakin gusar.

“Pertama aku ingin mas percaya bahwa secuil pun rasa cintaku pada mas gak hilang. Dan bahwa aku ingin terus hidup bersama mas sampai akhir hayat… Aku ingin mas tidak meragukannya.” Paulin menunjukkan raut serius. Aku manggut-manggut saja tanpa menjawab.

“Please, aku ingin mas yakin itu…” Lanjut Paulin mendesak.

“Sayang…. Aku mempercayainya sebesar aku ingin mempercayainya. Aku juga nggak ingin kehilangan kamu… Laki-laki bodoh mana yang mau melepas istri sebaik dan secantik kamu…” Aku mencoba meyakinkan istriku. “Aku tahu pasti bukan hanya bosmu aja kan yang ngincer kamu? Temen-temen kantor kamu juga pastilah menginginkan kamu.” Lanjutku. “Aku ingat bagaimana aku dulu begitu tergila-gila sama kamu. Aku masih ingat karna sampai sekarang pun aku masih tergila-gila sama kamu…” Aku memungkasi. Kuharap Paulin bisa tenang dengan kata-kataku yang jujur itu. Benarlah, wajahnya memerah. Dia pun tersenyum dan mengecup pipiku lembut. “Makasih mas…” bisiknya.

“Sebagai wanita aku juga seneng dan bangga ditaksir banyak laki-laki…” Ucapnya kemudian.

“Dasar perempuan, seneng banget ya jadi pusat perhatian…?” Godaku ketus.

“Iyalah… Udah naluri…” Jawab Paulin tertawa kecil.

“Tapi bukan berarti kamu bisa jatuh ke pelukan laki-laki lain dong… kamu kan udah punya aku.” Sindirku.

Paulin tersenyum. Dia menatapku kemudian mencubit hidungku gemas. “Nah… kepikiran juga kan…?” Godanya.

“Temen-temen di kantorku itu gila semua mas… Kamu kan udah sering kuceritai tentang suasana di kantorku yang sangat cair…?” Lanjutnya.

“Yang namanya cowok kalo lihat yang bening dikit aja udah blingsatan. Trus jadi nakal, suka menggoda-goda cari perhatian… Kadang sampe ganggu banget…” Paulin terus nyerocos.

“Tapi pria-pria di kantorku itu jauh lebih gila lagi. Lebih nakal lagi… Parah deh pokoknya!” Istriku terus bercerita dengan semangat. Kalau sudah begini biasanya aku akan jadi pendengar yang baik. Paulin pun melanjutkan, “Kalau cowok lain paling cuma suit-suit atau merayu-rayu dengan konyol. Tapi pria di kantorku udah kebangetan deh pornonya…”

Terhenyak aku mendengar istriku mengucap kata ‘porno’.

“Yaah kita biasa bercanda gitu di kantor. Tahulah…” Lanjut Paulin.

“Ya kamu kan udah biasa cerita itu…” Jawabku gusar.

“Ya tapi aku belum pernah cerita bercandanya kayak gimana kan?” Sahut Paulin. Aku terdiam. “Yah awal-awal sih bercanda biasa aja. Sedikit menggoda kukira wajar. Tapi lama-kelamaan seiring dengan makin akrabnya kita, mereka udah pada berani main tangan. Colek-colek gitu deh… bahkan remas pantat itu udah biasa banget. Makanan sehari-hari!” Lanjutnya. Aku tertegun mendengarnya. Rekan kerja pria Paulin biasa meremas pantatnya? Pikiranku cukup terusik. Perhatianku pun mulai tertarik kepada cerita Paulin.

“Di kantorku yang cewek kan bukan hanya aku aja mas. Selain aku ada 4 orang lagi. Yenni dan Susan kamu udah kenal kan? Lainnya ada Lisa sama Ai…” Lanjut Paulin.

Aku mengangguk. Yenni dan Susan yang disebut Paulin sudah beberapa kali datang ke rumah sehingga aku mengenal mereka. “Hmmm, si Lisa sama Ai itu apa juga secantik Jenni dan Susan?” Selidikku.

Paulin tertawa kecil. Dicubitnya pinggangku. “Nah itu mas, kami berlima semuanya cantik-cantik! Kayaknya si Yoshi emang sengaja memperkerjakan cewek cantik saja… Udah kubilang kan dia kayak gimana. Nah di antara para pria itu, yang paling parah ya si Yoshi itu!” Jawab Paulin bersemangat. Heran aku melihatnya. Dia menceritakan kenakalan teman-teman pria di kantornya tapi bukan dengan nada sewot melainkan dengan nada riang. Aku cukup terusik dengan kenyataan itu. Tapi entah kenapa aku sendiri juga ingin mendengarkan lebih lanjut.

“Lebih parah gimana maksudmu…?” Tanyaku.

“Yaah, namanya juga bos, dia yang paling berani… Kita lengah dikit aja deh, dada kita langsung diremasnya!” Jelas Paulin berbinar. Aku jelas terkejut mendengarnya.

“Haah dia suka mencuri-curi meremas dada begitu??” Tanyaku gusar.

“Iya mas. Bahkan dia suka memprovokasi karyawan cowok lainnya. Kalo udah berhasil meremas dada dia suka memamerkan kemenangannya dan mengejek mereka. Kalo yang lain kan hanya berani remas pantat, nah dia menantang keberanian yang lain untuk melakukan hal yang sama kayak dia.” Jelas Paulin.

“Sayang… Bukankah itu pelecehan namanya? Kalian harusnya bisa melaporkannya kan…?” Aku makin gusar.


Mendengar pertanyaanku yang lugu itu Paulin tertawa. “Yaah ga perlu sampe gitu lah mas… Semuanya kan hanya dalam rangka bercanda saja. Itu gambaran suasana di kantorku yang bebas dan akrab berbeda dengan kantor-kantor lainnya. Yah, hampir semua karyawan kantorku itu kan seniman. Total yang kerja di situ hanya 13 orang. 9 pria dan 5 wanita. Dan itu sudah 3 tahun tidak berganti. Tak ada yang keluar, dan nggak ada juga orang baru yang masuk. Ya kita jadi akrab dan saling mengenal satu sama lain dengan baik.” Paulin menjelaskan panjang lebar. Walau begitu masih sukar bagiku untuk mempercayainya.

“Yang jelas itu suasana di kantorku sehari-hari. Itu kultur kerjaku. Bercandanya ya begitu itu. Kalopun hanya obrolan, seringkali obrolannya menjurus ke hal-hal yang cabul. Tentu nggak langsung begitu pada awalnya. Semua itu setelah kami sudah sangat akrab. Aku nggak tahu gimana menjelaskannya padamu, mungkin kamu harus melihat atau mengalaminya sendiri supaya paham. Yang jelas itu bukan hal yang membuat kami para wanita risih…” Paulin meneruskan ceritanya.

Aku terus mendengarkannya dengan seksama dan gilanya tanpa kusadari penisku mulai mengalami ereksi. Damn! Aku sendiri tak percaya dan seakan ingin marah pada diriku sendiri. Aku pun menyilangkan kaki supaya Paulin tidak menyadarinya.

“Kami para wanita menyadari bahwa Yoshi itu memperkerjakan kami karna memilih kecantikan kami. Dan kami juga sadar sehari-harinya kami jadi objek pemanis di kantor. Yah, apalagi dengan ditambahi semua godaan-godaan dan obrolan-obrolan cabul itu, semua itu justru kadang membuat kami ge-er dan yaahh… kamu tahulah, kami sedikit bangga karenanya…” Sambil mengatakan itu Paulin melirik mataku, ingin mengetahui bagaimana reaksiku mendengarnya.

Tapi aku sendiri nyaris tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Mungkin karena sibuk menyembunyikan ereksiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bersikap begitu. Wanita cantik yang duduk di sampingku ini istriku sendiri. Milikku. Harusnya tidak aneh jika aku yang sedang ereksi ini langsung menubruk dan menggaulinya saat ini juga. Tapi aku malah memilih mendengarkan ceritanya lebih lanjut.

“Kami sudah terbiasa dengan suasana itu dan kurasa memang begitulah sewajarnya reaksi pria manapun terhadap wanita cantik. Si Lisa sama Susan yang belum menikah malah mengawali dengan berani bersikap bitchy loh… Mereka memang nekat. Dari cara bicaranya sampai pakaiannya semuanya ‘mengundang’. Awalnya, aku, Yenni, dan Ai tertawa saja dengan tingkah mereka berdua. Kadang kami malah ikut memprovokasi mereka supaya lebih nakal lagi supaya pria-pria itu makin blingsatan. Terutama si Yoshi itu…” Ujar Paulin terkekeh. Dengan bersemangat dia melanjutkan. “Menyenangkan sekali melihat bagaimana reaksi pria ketika ‘mupeng’. Lama kelamaan kami semua terpancing juga untuk tampil seksi seperti Lisa dan Susan itu.”

Apa? Istriku juga ikut-ikutan tampil seksi? Sepertinya aku salah dengar. “Sayang, bukankah selama ini kulihat penampilanmu sewajarnya saja kalau berangkat kerja?” Tanyaku lugu.

Paulin tertawa. “Ya kalo dari rumah udah seksi gimana di jalan nanti?” Jawabnya.

Ya, istriku memang sederhana. Itu salah satu dari banyak kelebihan yang membuat aku jatuh cinta padanya. Dia lebih suka berangkat kantor menggunakan taksi ketimbang menyetir mobil sendiri. Waktu kutawarkan untuk memperkerjakan seorang sopir, dia juga menolaknya. Bahkan waktu awal-awal Bus TransJakarta beroperasi, semangat sekali dia ingin mencobanya. Sampai sekarang dia juga terkadang masih suka menggunakan Bus umum itu.

“Kami tampil bitchy ya hanya di kantor saja mas… Jadi kamu nggak usah khawatir, semua itu hanya untuk suasana di kantor saja. Aku tentu nggak berani sembarangan juga di luar.” Lanjut Paulin. Aku tak tahu bagaimana logikanya bahwa aku nggak perlu khawatir bahwa dia tampil nakal hanya di kantornya saja. Tapi toh aku mencoba untuk bersikap biasa saja.

“Kami bersenang-senang dengan itu. Terkadang kami pamer-pamer sedikit untuk memanaskan suasana…” Lanjut Paulin. Matanya berbinar ketika mengucapkannya.

“Pa… Pamer gimana maksudmu??” Tanyaku.

“Yaah, kamu tahulah… Pamer tubuh sedikit dengan menyingkap paha atau sekedar belahan dada. Lisa itu yang paling berani. Dia bahkan pernah mengekspos payudaranya ketika salah satu karyawan pria berhasil meremasnya. Dia pura-pura kesal dan membuka dadanya, ‘apa-apaan sih gini aja pada penasaran, nih aku kasih semuanya!’ Paulin mencoba menirukan kata-kata Lisa.

“Gila, berani sekali dia menantang-nantang begitu. Semua karyawan pria di situ jelas kegirangan dan kami para wanita juga tanpa sadar turut mengelu-elukannya. Dada Lisa memang paling montok di antara kami. Dan jelas sekali Lisa bangga dan menikmatinya… Menjadi pusat perhatian dan dikagumi seperti itu.” Jelas Paulin melanjutkan.

“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tanyaku penasaran.

Paulin tertawa. “Yah, ketika pria itu hendak meremasnya lagi Lisa buru-buru menghindar sambil menutup kembali dadanya. Begitulah… jadi semua itu hanya bercanda saja…” Jawabnya terkekeh.

Aku pun manggut-manggut tanda mengerti. “Ooh begitu…” Gumamku. “Tapi kamu nggak pernah melakukan hal serupa kan…?” Tanyaku menyelidik lebih lanjut. Aku seperti lupa dengan kenyataan bahwa bahkan Paulin sudah melakukan yang lebih dari itu, ya meniduri Yoshi itu!

Paulin terdiam sejenak. “Aku tak pernah sengaja melakukannya…” Jawabnya pelan.

Aku terhenyak. Itu artinya dia sudah pernah mengekspos payudaranya juga! Kecemburuanku mulai memuncak, namun seiring dengan itu ereksiku juga makin mengeras hingga maksimal. Sial. Gara-gara itu aku jadi tidak tahu bagaimana musti bersikap. Melihatku diam Paulin pun melanjutkan.

“Suatu ketika Yoshi pura-pura menumpahkan kopi di bajuku sehingga aku harus melepaskannya. Yoshi minta maaf dan meminjamkan ruangannya yang tertutup untukku berganti pakaian. Tapi aku tak bawa baju ganti, kubilang aku akan mengangin-anginkan pakaianku sejenak supaya agak kering sedikit saja. Jadi aku akan meminjam ruangannya agak lama. Ya sudah, aku kemudian telanjang dada di ruangan Yoshi sambil mengangin-anginkan bajuku. Aku benar-benar mengira bahwa pintu ruangan itu terkunci karna memang aku sendiri yang menguncinya. Tapi ternyata Yoshi punya kunci serep dan tiba-tiba saja dia membuka pintu dari luar. Aku kaget setengah mati karena ternyata semua teman kantorku, pria dan wanita, sudah ada di balik pintu. Semuanya tertawa dan berteriak-teriak menyorakiku sambil bertepuktangan. Aku langsung menutup dadaku dengan tangan. Duh… malu banget saat itu, dasar si Yoshi sialan, semua itu hanya akal bulusnya saja untuk melihatku telanjang!” Muka Paulin dicemberut-cemberutkan supaya terlihat kesal. Namun aku tahu bahwa dia sama sekali tidak merasa kesal. Yah seperti Lisa, kemungkinan besar Paulin menikmatinya juga.

“Akhirnya Yoshi masuk dan mengunci pintu dari dalam. Semua karyawan pria bersorak-sorak dari luar. Sebal sekali rasanya saat itu. Cengengesan aja Yoshi itu sudah mengerjaiku seperti itu. Ternyata dia ada pakaian ganti dan menyerahkannya padaku. Entah pakaian siapa itu dan kenapa dia menyimpannya, yang jelas aku langsung saja menerimanya karna pakaianku tentu tidak akan cepat keringnya. Tapi di situ aku jadi sulit mengelak juga dari tangannya yang nakal…”

“Yah, dia berhasil mencuri-curi kesempatan untuk meremas dada telanjangku setidaknya 2 atau 3 kali sebelum aku benar-benar bisa mengenakan pakaian yang diberikannya.” Lanjut Paulin sambil tetap memasang muka sok cemberutnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mungkin seharusnya aku marah, tapi yang ada malah aku makin susah mengendalikan ereksiku. Sialnya, Paulin menyadari hal itu. Tangannya meraih selangkanganku dan meremasnya. Malu sekali aku karenanya. Paulin tersenyum nakal, “Duh mas ini genit deh… suka ya istrinya dikerjain orang begitu?” Godanya. “Sini dikeluarin, ga kasihan apa sama adek kecilnya, sempit begitu…” Ucapnya genit. Aku makin tersipu. Kutepis tangannya yang hendak membuka retsleting celanaku.

“Bukannya harusnya kamu pake bra saat itu???” Tanyaku gusar.

Mendengar pertanyaanku lagi-lagi Paulin malah tertawa tersipu, “Nah itu mas… Saat itu aku memang pas sengaja tidak memakainya. Itu juga dalam rangka tampil seksi menggoda teman-teman priaku...”

“Yah mungkin itu hukuman buatku. Sekalinya tampil berani nekat dengan tanpa BH seperti itu, eh akhirnya malah aku harus memperlihatkan semuanya pada teman-teman priaku.” Jelasnya sambil tertawa. Aku begitu terkesima mendengarnya. Bosnya mengerjainya seperti itu dan menganggapnya lelucon, dan ternyata Paulin pun menganggapnya sama. Semua hanya lelucon baginya, dan jelas sekali dia menikmatinya. Pikiranku berkecamuk sehingga lengah. Begitu kusadari, Paulin sudah berhasil mengeluarkan batang penisku dari balik celanaku. Dia terpekik girang seperti baru pertama kali melihat penis saja.

“Duh kasihan banget udah keras begini…” Godanya sambil melirikku nakal. Sial, malu sekali aku saat itu. Wajahku mungkin terlihat sangat memerah seperti kepiting rebus. Ah… Kenapa juga aku harus malu dengan istriku sendiri? Perasaanku benar-benar campur aduk.

Paulin mulai mengocok penisku pelan sambil tersenyum dan melirikku nakal. Tanpa mengatakan apa-apa aku sudah bisa mengerti apa maunya. Aku mengangguk dan Paulin pun beringsut turun dan berlutut di depanku…sore itu kami bercinta dengan hebat

##################################
Sumber : Blog Tetangga  

1 komentar: